Pada dasarnya, sebuah organisasi terbentuk karena adanya kesamaan tujuan, tak hanya itu, organisasi terbentuk juga karena adanya kesamaan latar belakang yang dimiliki oleh masing-masing angotanya. Tapi, apakah hal-hal yang telah disebutkan tadi cukup untuk membentuk sebuah organisasi menjadi matang dan berguna bagi masyarakat? Jawabanya adalah tidak. Dalam sebuah organisasi, tentu dibutuhkan pedoman atau bisa disebut “kompas” agar bisa membawa para anggotanya kepada jalan yang sesuai aturan dan arah yang sama. Pedoman ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk regulasi yang dimiliki dan ditaati oleh sebuah organisasi. Sudah selayaknya organisasi, khususnya organisasi profesi memiliki pedoman tersebut. Dalam hal ini profesi, adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu, mereka memiliki tanggung jawab khusus. Pedoman yang telah dibahas tadi, lebih familiar disebut dengan “kode etik”. Kode etik ini dimiliki dan telah dibiasakan oleh organisasi profesi yang ada, seperti dokter, perawat, petugas pelayanan kesehatan lainya, pengacara, wartawan, insinyur, akuntan, perusahaan periklanan, dan lain-lain. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, bukan hanya profesi, tapi juga perusahaan-perusahaan cenderung membuat kode etik sendiri. Hal ini dinilai karena mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya. Kode etik pada masing-masing profesipun berbeda- beda, tergantung bidang yang mereka geluti. Pada essai kali ini, akan difokuskan pembahasan mengenai pentingnya kode etik bagi profesi wartawan, atau sering kita sebut Kode Etik Jurnalistik. Kode etik jurnalistik berisi aturan dan batasan-batasan bagi jurnalis atau wartwan dalam menjalakan tugasnya. Di dalam batasan-batasan ini, juga dicantumkan sanksi-sanksi yang sesuai bagi setiap pelanggaran yang ada.
Pemahaman mengenai kode etik, akan dimulai dengan contoh kasus berikut, yaitu mengenai kasus wartwan yang menerima suap, contoh berikut terjadi di negeri tirai bambu, China. Pada saat itu, para jumalis di kota tersebut dihukum, karena terbukti telah menerima uang dari pemilik pertambangan batu bara di Webrian, Kota Zhangjiakou, Provinsi Hebei, wilayah utara Cina. Menurut laporan kantor berita Xinhua, uang tersebut diberikan sebagai imbalan untuk tidak memublikasikan atau melaporkan tentang ledakan yang menewaskan 35 orang pada 14 Juli 2008. Li Junqi, kepala cabang koran Farmers Daily di Provinsi Hebei, yang merupakan surat kabar nasional menerima 200.000 yuan atau setara dengan 29.000 dolar AS dari pemilik pertambangan dan menyalahgunakan dana publik. Ia dihukum penjara selama 16 tahun. Farmers Daily juga di-denda 30.000 yuan oleh GAPP dan diperintahkan untuk menutup cabangnya di Hebei. Lima industri koran seperti China Industrial Economic News, Consumption Daily, dan dua jumal lokal juga terlibat. Dua wartawan dari China Industrial Economic News, Ren Zhiming dan Wang Yu-exin, terbukti bersalah karena menerima 440.000 yuan atau setara dengan 64.000 dolar AS dari pemilik pertambangan sebagai uang tutup mulut. Mereka juga divonis hukuman penjara masing-masing 10 tahun dan 12 tahun. Tak hanya divonis hukuman penjara, kesembilan jumalis yang terbukti terlibat dalam penyuapan dan pemerasan juga dilarang bekerja di perindustrian surat kabar selama sisa hidupnya.Insiden ledakan di penambangan Weixian juga melibatkan 24 partai dan sejumlah pejabat pemerintah. Li Hong-xing, mantan kepala partai di Wexian, dihukum 13 tahun penjara dan mantan kepala desa Qi Jianhua dihukum 14 tahun penjara karena mereka menerima suap dan menutupipraktik ilegal di pertambangan batu bara. Contoh kasus diatas, secara gamblang menggambarkan adanya kecurangan yang dilakukan oleh wartawan. Tak hanya di China, di Indonesia pun, kasus seperti ini tidak akan dibenarakan. Tindakan yang dilakukan oleh wartawan pada kasus di atas tentu melawan prinsip moral. Selain hal ini tidak menunjukan keutamaan, hal ini juga bertentangan dengan prinsip moral. Di Indonesia, kita juga bisa lihat pada Kasus Uji Kir pada Dinas Perhubungan Kota Surabaya yang mengindikasikan adanya keterlibatan wartawan. Seperti yang dimuat Harian Surya Surabaya edisi Rabu, 4 Februari 2009, ada 14 wartawan yang menerima jatah Rp.10 juta/bulan.Tertulis di Surya, penyidik menemukan fakta adanya wartawan yang mendapat jatah bulanan dari UPT PKB Wiyung yang dibagi dengan jumlah minimal Rp. 10 juta/bulan. Jumlah itu bervariasi. Mulai Rp. 500.000dan Rp. 750.000 per bulan. Kasus tersebut, tentu dinilai sangat melanggar norma dan moral. Pasalnya, seorang wartawan yang seharusnya bisa menjalankan fungsinya dengan baik, memberitakan fakta yang aktual dan obyektif, malahan menerima iming-iming uang, dengan mengabaikan tujuan profesinya seorang wartawan. Selain mendapatkan sanksi moral, beberapa perusahaan media seperti misalnya KOMPAS, tak segan-segan untuk memberi sanksi tegas terhadap wartawanya, jika menerima suap, yaitu langsung memecat wartawan tersebut dari pekerjaanya. Perihal mengenai suap menyuap ini, dibahas secara jelas di dalam kode etik jurnalistik di Pasal 6, yang berbunyi Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap. Hal ini perlu dijunjung karena pada dasarnya, menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum, dan suap itu sendiri adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Masalah kode etik wartawan, tidak hanya berkutat pada kasus suap-menyuap saja, masih banyak kasus-kasus lain yang menggambarkan bahwa wartwan dinilai tidak bekerja secara profesional, karena mereka dinilai melanggar kode etik yang telah mereka jiwai sebagai pedoman. Pelanggaran akan kode etik seorang wartawan menjadi hal yang sangat ditentang, karena wartwan merupakan ujung tombak media massa. Media massa itu sendiri, adalah aspek yang hidup di masyarakat, menyatu, dan bekerja untuk masyarakat. Pelanggaran yang dilakukan pun tidak hanya akan merugikan wartwan ataupun perusahaan media saja, tapi, juga bagi masyarakat sebagai pengonsumsi berita itu sendiri. Pernyataan diatas, akan dapat tergambar jelas lewat kasus kecelakaan pesawat Adam Air pada waltahun 2007. Pada kasus tersebut, digambarkan adanya kecelakaan sebuah pesawat di daerah Polewali Mandar, Sulawesi. Pada pemberitaan kasus itu, wartawan pada saat itu dinilai kurang profesional. Hal ini terjadi karena pada saat berita yang beredar adalah “Pesawat Adam Air hilang” , tiba-tiba muncul berita bahwa pesawat tersebut sudah ditemukan, hal ini tentu menjadi berita yang sangat menggembirakan bagi keluarga korban, dan setelah itu banyak tindakan kroscek terhadap berita tersebut. Namun, sungguh ironis, ternyata berita tersebut salah. Faktanya, Pesawat Adam Air saat itu belum ditemukan. Informasi mengenai rumor pesawat telah ditemukan, datang dari seorang nelayan yang melihat bangkai pesawat, kemudian informasi itu terus berlanjut kepada perangkat desa, pejabat kota, provinsi, hingga pemerintah. Berkaca dari kasus ini, wartawan mendapat image seakan-akan hanya mengejar kecepatan bukan ketepatan. Jika dikaitkan dengan kode etik, masalah ini berkaitan dengan masalah sumber berita yang tertera pada Bab III, pasal 11, yang berbunyi wartawan meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita. Hal ini, bertujuan agar berita yang disampaikan ke masyarakat adalah berita yang obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan.,mengingat fungsi dari media massa itu sendiri adalah membentuk opini publik. Maka, jika berita yang disampaikan salah, maka opini yang akan terbentuk di masyarakat pun salah. Hal ini tentu akan menggambarkan kinerja media massa, khususnya wartawan belum maksimal dan berjalan sesuai dengan fungsinya. Dan kinerja yang dilakukan oleh wartawan, belum bisa dikatakan sebagai tindakan bermoral. Namun hal ini bisa lain ceritanya, jika dipandang dari sudut pandang lain.
Jika dirangkum, kode etik itu sendiri, diciptakan sebagai usaha untuk mengatur moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Maka, bisa dikatakan bahwa kode etik tersebut memang dibuat untuk ditaati. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi dalam masyarakat. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentinganya akan terjamin. Kode etik merupakan produk etika terapan, sebab dihasilkan dari penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yakni profesi. Tapi setelah ada kode etik, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya dapat berfungsi dengan baik, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi itu sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau hanya diberikan begitu saja dari atas (instansi pemerintah atau instansi lain), karena nantinya justru tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam organisasi profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan bisa juga membantu dalam merumuskanya, namun pembuatan itu sendiri harus dilakukan oleh profesi yang bersangkutan. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi hasil “self regulation” (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi itu sendiri akan menetapkan hitam di atas putih tentang niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang sifatnya hakiki. Hal itu tidak pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri bisa mendarahdaging denganya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan juga dengan tekun. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa dalam pelaksanaanya, kode etik harus diawasi terus menerus, mengandung sanksi jika dilanggar, dan sanksi tersebut diberikan oleh komisi khusus. Kode etik yang sudah ada sewaktu-waktu harus dinilai kembali, dan jika perlu direvisi atau disesuaikan.
Pembahasan tentang kode etik di atas, sudah bisa secara jelas menggambarkan bagaimana sistem dan peranan kode etik jurnalistik itu sendiri bagi wartawan. Menjadi seorang wartawan memang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Mereka harus memikul tanggung jawab yang besar terhadap publik atau masyarakat yang haus akan informasi. Seperti yang telah disebutkan di atas, kode etik sebaiknya dibuat oleh profesi itu sendiri, dan diawasi secara terus menerus dalam pelaksanaanya. Hal ini sama hal nya dalam pelaksanaan kode etik jurnalistik. Karena dibuat sendiri oleh profesi wartawan, maka kode etik tersebut akan lebih dijiwai dan mendarah daging. Pada dasarnya ada tiga komponen dalam hal ini, yaitu code of ethics yakni aturan yang dibuat oleh para profesional itu sendiri, code of conduct yakni aturan yang dibuat oleh perusahaan media yang bersangkutan, dan yang terakhir adalah standard community yakni standar atau aturan yang dimiliki masyarakat keseluruhan. Biasanya, code of conduct lebih ditakuti oleh wartawan daripada code of ethics journalism, karena sanksi code of conduct sifatnya langsung, tegas dan konkret. Misalkan saja ketika seorang wartawan KOMPAS melakukan peliputan sebuah berita. Wartawan tersebut melakukan tindakan menyimpang dari kode etik yaitu menerima uang suap dari narasumber, agar berita yang dibuat tidak menjelek-jelekan narasumber tersebut. Secara kode etik, sanksi yang saat itu diterima secara langsung adalah sanksi moral bagi diri wartawan itu sendiri. Namun, jika pihak KOMPAS tahu mengenai hal ini, wartawan tersebut akan langsung dipecat secara tegas. Contoh kasus tersebut, cukup menggambarkan bagaimana code of conduct dinilai lebih ditakuti oleh wartawan daripada code of ethics itu sendiri.
Pembahasan sebelumnya sudah menjelaskan mengenai seluk beluk sistem, pelaksanaan, dan keterkaitan kode etik jurnalistik terhadap kinerja wartawan itu sendiri. Sudut pandang selanjutnya untuk membahas permasalahan ini adalah sudut pandang etika deontologi, etika teleologi, dan etika keutamaan. Sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian masing-masing. Etika deontologi , berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut teori ini tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Suatu tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu, atas dasar tersebut, etika ini sangat menekankan motivasi, kemauan yang baik, dan watak yang kuat dari pelakunya. Selanjutnya adalah etika teleologi, yaitu berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran, akibat dan hasil. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik dan membawa akibat yang baik dan berguna. Etika ini lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Kemudian etika yang terakhir adalah etika keutamaan, etika ini menjawab pertanyaan “what kind of person should I be?” atau lebih menekankan pada “being”. Etika keutamaan saja adalah buta, jika tidak dipimpin oleh norma atau prinsip. Keutamaan menurut Aristoteles adalah titik tengah dua ekstrim misal : berani adalah titik tengah dari pengecut dan nekat, murah hati adalah titik tengah kikir dan boros. Keutamaan membuat manusia menjadi baik secara pribadi, dan keutamaan selalu secara individual. Jika ketiganya dikaitkan dengan kinerja seorang wartawan maka, secara etika deontologi tindakan wartawan dikatakan bernilai moral jika ia melakukan kewajiban yang memang seharusnya dilaksanakan, jadi, seoarang wartawan secara deontologis wajib melakukan kegiatan jurnalistik dengan baik terlepas dari tujuan atau akibat yang ditimbulkan dari kegiatan itu. Selanjutnya adalah dari sudut etika teleologi, kinerja seorang wartawan dinilai baik, jika tujuanya pun baik. Jadi misalkan seorang wartawan akan meliput mengenai Bom Bali, karena tujuanya baik, maka tindakan wartawan tersebut pun dinilai baik,dan bisa dikatakan bermoral. Yang terakhir adalah dari sudut pandang etika keutamaan (virtue ethics). Di sini ditekankan lebih kepada individunya. Jadi, perbuatan seorang wartawan dinilai baik dan bermoral, jika wartawan itu sendiri baik secara individu. Maka dari itu, sering muncul pernyataan bahwa untuk bisa menjadi seorang wartawan yang baik, kita terlebih dahulu harus menjadi pribadi atau manusia yang baik. Dari ketiga sudut pandang etika yang sudah dipaparkan di atas, bisa dibedakan menjadi dua yaitu good action dan good person. Jika good action, pada situasi tertentu kita harus melakukan tindakan tertentu (doing), sedangkan good person, lebih ditekankan pada (being) apa yang harus kita lakukan.
Jadi jika disimpulkan, wartawan adalah salah satu profesi (masyarakat moral), yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Setiap profesi, tidak terkecuali wartawan juga memiliki kode etik, yang dibuat sendiri oleh profesi yang bersangkutan, dan juga diawasi secara terus-menerus. Kode etik jurnalistik berisi aturan dan batasan-batasan bagi jurnalis atau wartwan dalam menjalakan tugasnya. Di dalam batasan-batasan ini, juga dicantumkan sanksi-sanksi yang sesuai bagi setiap pelanggaran yang ada, yang tercermin pada setiap pasal yang ada. Kode etik disini juga memberikan arahan bagi wartawan agar bisa bekerja sesuai dengan norma dan nilai yang hidup di masyarakat. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi hasil “self regulation” (pengaturan diri) dari profesi. Walaupun pada kenyataanya, wartawan dinilai lebih takut pada code of conduct daripada code of ethics, dalam menjalakan tugasnya, wartawan hendaknya menjadi good person dan good action. Hal ini tercermin dalam teori etika deontologi ( yang menekankan pada kewajiban) , etika telologi (yang menekankan pada tujuan), dan teori keutamaan / virtue ethics ( yang menekankan pada kualitas individunya). Jadi secara garis besar, karena kode etik merupakan aturan yang dibuat sendiri oleh profesional, maka kode etik ini juga harus dijiwai dan ditaati oleh profesional itu sendiri. Karena kode etik merupakan pedoman (panduan) moral yang harus ditaati oleh kalangan profesional di bidang komunikasi, dalam hal ini wartawan.