Kita tentu tahu Daerah Istimewa Yogyakarta, kota pelajar yang penuh dengan beragam nilai plus yang dianggap dapat menarik orang lain untuk mengunjungi kota ini. Banyak sekali ciri khas yang membuat kita akan selalu teringat pada kota ini, salah satunya adalah Malioboro. Tentu di antara kita hampir semua tahu tentang tempat ini, yaitu tempat yang dianggap menjadi pusat kegiatan warga jogja. Jelas saja ini menjadi daya tarik baik itu bagi wisatawan dalam maupun luar negeri, karena di tempat ini terdapat berbagai macam kesenian atau pernak-pernik budaya yang dijajakan dengan harga yang terkenal miring, tidak hanya itu pusat perbelanjaan di dalamnya pun menjadi salah satu aspek penarik yang diniai sangat tepat, dan hal inilah yang membuat tempat ini selalu riuh dan penuh pengunjung. Sisi dan nuansa “glamour” di tempat ini pun seakan-akan jelas tersorot, kehidupan yang penuh dengan kesenangan, foya-foya dan juga kenikmatan duniawi, sudah menjadi sangat sempurna bagi tempat ini untuk menjadi salah satu poin plus untuk meningkatkan pariwisata di kota Yogyakarta.
Namun pada realitanya, sungguh ironis sekali kenyataan yang di dapat. Di tengah “glamour”nya nuansa malioboro terdapat pula tangis dan ratapan akan kehidupan. Tepat di belakang kawasan Malioboro di sebuah perkampungan yang bernama Kampung Pajeksan, kita bisa melihat dengan jelas sisi lain dari kehidupan di Yogyakarta yang selama ini dinilai penuh pengharapan dan pujian, apalagi mengingat tempat ini berdekatan dengan sebuah kawasan yang selalu dielu-elu menjadi tempat paling asik dan favorit untuk dikunjungi karena “glamour” nya, riuhnya, pusat perbelanjaanya, pusat kesenian dan budayanya. Walaupun hal ini sangat dekat secara lokasi, namun hal ini sangat beda atau jauh dalam hal realita. Kampung Pajeksan merupakan salah satu dari banyak kampung-kampung lainya di Yogyakarta yang memperlihatkan dengan jelas adanya realitas kemiskinan yang sangat ironis. Penduduk yang tinggal di kampung ini sesungguhnya bukan hanya mereka yang notabene termasuk dalam kategori miskin, karena kita pun bisa mendapati rumah-rumah mewah yang sudah jelas tersorot bahwa mereka yang bersangkutan masuk dalam kategori mampu. Namun kuantitas warga yang masuk dalam kategori miskin dinilai lebih banyak dan lebih menonjol. Di kampung ini kita bisa menemui banyak sekali pemulung, pedagang kaki lima, ataupun mereka yang selama ini bermata pencaharian sebagai pengamen atau pengemis itu sendiri. Mereka berjuang menyambung hidup dengan bekerja pada aspek pekerjaan yang mungkin kurang manusiawi dan kurang mengenakkan. Namun beginilah realita yang ada, kehidupan yang terus berputar tanpa melihat sekelilingnya apakah mereka menangis ataukah tertawa. Namun di dalamnya justru ada rasa, rasa bersyukur, rasa prihatin, rasa sayang. Nampak pada salah satu warga yang merupakan seorang kakek tua dimana beliau sehari-harinya berjuang menyambung hidup dengan memunguti sampah dan memilahnya setelah itu barulah dijual, walaupun hidup sebatangkara karena ditinggalkan oleh anak dan cucu-cucunya, dan juga bekerja alakadarnya, beliau mengatakan bahwa rasa syukur kepada Tuhan selalu terucap dari mulutnya. Begitupula dengan salah seorang ibu yang bermata pencaharian sebagai pembantu rumah tangga, beliau memiliki seorang putra berumur 12 tahun yang cacat sejak lahir, namun walaupun begitu adanya cobaan yang dihadapi, beliau tetap memberikan perhatian kepada putranya dengan pebuh kasih sayang. Satu pelajaran dan nilai plus bagi kita karena dalam realitas seperti itupun masih bisa diungkapkan kata syukur dan juga ungkapan kasih sayang yang begitu mendalam.
Realitas kemiskinan memang bukanlah suatu hal yang asing, kehidupan yang terus berputar memang menghadapkan kita pada banyak sisi kehidupan. Termasuk kehidupan yang nampak di Kampung Pajeksan. Dan bagi kita, hal ini tentu saja tidak hanya akan menjadi berita yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tetapi hal ini hendaknya merupakan sebuah sinyal dan amanat bagi kita agar kita peduli terhadap kaum-kaum marginal serta tanggap dengan realitas kemiskinan yang ada di sekitar kita. Pemerintah hendaknya jangan berhenti untuk terus memperhatikan masalah ini karena kaum-kaum marginal akan selalu menunggu jamahan dan keadilan dari dunia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon