Diskriminasi Perempuan Dalam Dunia Politik Menghambat Mobilitasnya

Jika kita mendengar kata perempuan tentu banyak sekali hal yang muncul di pikiran kita baik itu positif maupun negatif, kita bisa saja berpikiran sesosok perempuan adalah sosok yang lembut , penuh kasih sayang dan berbau sesuatu yang mengandung unsur perasaan. Berpikiran bahwa perempuan adalah sosok seorang ibu yang telah melahirkan kita dengan segala pengorbananya. Tapi di luar itu, pada realita yang sangat luas masih saja ada anggapan klise yang tidak pernah hilang, bahwa perempuan dianggap hanya sebagai “kanca wingking” dalam hal ini perempuan di anggap berperan nomor dua setelah laki-laki, perempuan dianggap hanya memiliki wilayah kekuasaan dalam lingkup rumah tangga, yang hanya berkecimpung dalam hal memasak, melayani suami, dan mengurus anak, jadi diberikan batas-batas baginya untuk bergerak dan bekerja. Selalu saja ada pandangan yang melarang perempuan untuk bisa keluar dari batas itu, sedangkan laki-laki sering dikaitkan dengan masalah publik atau di luar rumah, padahal jelas bahwa di jaman modern seperti ini sudah bukan sesuatu yang seharusnya diperdebatkan lagi, bahwa perempuan dan laki-laki itu sederajat ataukah tidak. Pada sistem sosial Indonesia sendiri , dinilai masih cenderung menempatkan wanita pada posisi yang terdiskriminasi. Dan anggapan atau pandangan seperti ini tentu akan sangat menghambat perempuan dalam struktur sosial untuk mengimbangi posisi laki-laki. Padahal jika kita lihat emansipasi wanita sudah dikumandangkan di mana-mana, idealnya sudah diakui di mana-mana bahwa perempuan itu sudah diakui seerajat dan memiliki hak serta kewajiban yang sama seperti kaum laki-laki, dan jaman sekarang ini adalah jaman egaliter yang menempatkan laki-laki dan perempuan berdasarkan motif kemampuan (achievement).
Dalam UUD 1945 disebutkan adanya jaminan pendidikan bagi warga Negara untuk mendapatkan pendidikan. Artinya,tidak ada diskriminasi baik laki-laki maupun perempuan, memang hal ini sudah kita jumpai implementasinya, namun kita juga masih sering menjumpai bahwa perempuan masih sering di nomor duakan,masih sering dianggap remeh, dianggap tidak berkualifikasi dalam hal-hal di luar lingkup rumah tangga. Tentu hal ini sangat ironis sekali , bagi kaum perempuan yang justru mayoritas penduduk di Negara kita adalah berjenis kelamin ini. Lama-kelamaan perempuan berkesan menjadi kaum yang di pinggirkan, dan terdiskriminasi. Meskipun secara kuantitatif kaum perempuan lebih banyak tetapi hal ini tidak memberikan jaminan terhadap hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu faktor penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang di ambil meskipun itu menyangkut kehidupan-kehidupan perempuan. Hal ini mengakibatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik hanya karena semata-mata mereka adalah kaum perempuan. Dunia perpolitikkan yang sangat dekat dengan kekuasaan,dengan jabatan dan dengan materi. Tentu hal ini sangat tidak mungkin bagi seorang perempuan untuk terjun di dalamnya, jika anggapan bahwa perempuan hanyalah “kanca wingking” dan memiliki tugas dalam lingkup keluarga dan tak lebih dari itu tetap bersarang di pikiran kita. Padahal jelas,saat ini jaman sudah modern dan saatnya untuk mengubah semua pikiran klise yang akan menghambat kemajuan bangsa.
Mendengar kata politik, tentu akan sulit bagi kita untuk menghubungkannya dengan perempuan. Sejak dulu politik selalu dikaitkan dengan dunia laki-laki dan terkesan tabu dimasuki perempuan. Perempuan memiliki hak yang sangat minim dan terbatas dalam bidang ini, Pada realitanya hak politik mereka dipasung sedemikian rupa dengan ada batasan 30 % keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik. Fakta-fakta yang lain yitu presentase wanita diparlemen masih 12,2 persen, dalam posisi administrator dan manajer 6,6persen. Bagian dari penghasilan yang diperoleh wanita baru 25,3 persen dan angka melek huruf wanita 76,4 persen sedangkan laki-laki 88,8 persen.
Padahal jika mengingat bahwa Negara kita adalah Negara demokrasi maka adanya partisipasi politik dari perempuan itu juga menjadi salah satu unsur yang menjadi syarat atau mendukung pelaksanaan demokrasi. Sangat tidak dibenarkan jika masih ada ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan tersingkirnya kaum perempuan dari kancah perpolitikan. Karena demokrasi yang sejati dan ideal adalah di mana semua anggota masyarakatnya berkedudukan sama, punya hak dan kewajiban sama, serta sama-sama punya hak untuk bersuara dan didengar. Maka sudah seharusnya dan selayaknya perempuan ikut andil dalam dunia politik, masalah kemampuan, asal diberikan kesempatan yang sama tentu wanita tidak akan kalah dengan laki-laki. Dan di Indonesia khususnya, banyak sekali aspek dalam masalah pemerintahan atau Negara yang membutuhkan sentuhan atau andil secara langsung dari kaum perempuan. Banyak sekali masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan perempuan, seperti kekerasan pada perempuan seperti kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan konflik seperti Aceh, atau kita tengok kasus Nirmala Bonat beserta TKW lainnya yang diperlakukan layaknya binatang,ataupun kekerasan dalam rumah tangga begitu pula kasus buruh migran Indonesia di luar negri yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia, dan kasus-kasus serupa lainnya.Di sini jelas bahwa sesungguhnya negara atau pemerintah juga berperan dalam melestarikan budaya patriaki dengan segala macam bentuk kebijakan yang dihasilkan, namun hasil dan atau pelaksanaan kewajiban itu belum bisa memberikan keuntungan kepada kaum perempuan itu sendiri.Dan dari hal ini munculah desakan dan tuntutan agar ada perlindungan, perhatian, dan kesetaraan bagi kaum perempuan.Disinilah pentingnya partisipasi perempuan dalam politik untuk bias memperjuangkan hal itu, karena yang sungguh-sungguh memahami dan mengerti masalah, persoalan, dan kondisi perempuan adalah perempuan itu sendiri. Dengan adanya partisipasi politik dari perempuan, diharapkan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang tentu bisa memberi perlindungan dan tentunya menguntungkan bagi kaum perempuan.
Saat ini sudah kita jumpai bahwa perempuan sudah ikut andil atau ambil bagian dalam dunia politik, bisa kita tengok dalam perihal pemilihan suara, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan memainkan peranan penting dalam perolehan suara dalam suatu partai,ini bisa kita flash back pada pemilu legislatif tahun 2004. Bahkan pada beberapa partai caleg perempuan memperoleh suara terbanyak tetapi terpakasa harus “menyerahkan” suaranya kepada caleg dengan nomor urut di atasnya karena mekanisme internal partai dalam penyusunan nomor urut caleg, sementara jarang partai yang menempatakan perempuan di urutan teratas, apalagi dengan adanya BPP(Bilangan Pembagi Pemilih), dan hal ini tentu akan sangat merugikan caleg yang berada di nomor urut tengah-bawah dalam memperoleh kursi. Dan sistem inilah yang mengakibatkan walau perempuan mendapat suara terbanyak namun tidak bisa mendapatkan kursi. Hal ini tentu sangat mengecewakan khususnya bagi kaum perempuan, tapi dari sini kita bisa lihat bahwa perempuan sesungguhnya memiliki daya saing dalam bidang politik. Inilah salah satu contoh bentuk marginalitas politik. Namun yang tetap menjadi akar masalah adalah adanya unsur pembedaan dan pandangan budaya patriakis yang mengakibatkan perempuan menjadi kaum marginal khususnya dalam hal partisipasi politik.Maka dalam hal ini diperlukan adanya pembenahan paradigma , dan juga perubahan terkhusus bagi pemerintah kita secara politis yang juga ikut serta melestarikan budaya patrirakis yang merugikan perempuan. Jadi disini kaum perempuan menjadi terdiskriminasi,dan karena adanya diskriminasi ini, maka mobilitas sosial khususnya dalam dunia politik menjadi terhambat. Kasaranya, karena terdiskriminasi maka kaum perempuan tidak dapat bergerak ke jenjang yang lebih tinggi, hal ini diakibatkan karena adanya pembatasan dan hambatan mobilitas yang terjadi
Jika dikaji dari kacamata ilmu sosial, masalah atau studi kasus di atas akan dihubungkan dengan perihal mobilitas sosial dan bagaimana diskriminasi dapat menghambatnya.Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Tipe mobilitas secara prinsipil ada 2 macam, yaitu mobilitas vertikal dan horizontal.Mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertical adalah perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya,yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya maka terdapat 2 jenis mobilitas sosial yang vertical,yaitu yang naik (social-climbing) dan yang turun (social-sinking).Namun yang akan dibahas kali ini sehubungan dengan kasus di atas adalah mobilitas sosial vertical naik, mobilitas sosial naik memiliki 2 bentuk utama yaitu yang pertama masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada dan yang kedua adalah pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.
Semakin seimbang kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan kedudukan-kedudukan tersebut akan semakin besar mobilitas sosial.Pada masyarakat berkasta yang sifatnya tertutup , hampir tidak ada mobilitas sosial yang vertical karena kedudukan seseorang telah ditentukan sejak dilahirakan.Sedangkan dalam sistem lapisan terbuka, kedudukan yang hendak dicapai tergantung pada usaha dan kemampuan si individu. Prinsip-prinsip umum yang sangat penting bagi mobilitas sosial vertical antara lain : Hampir tidak ada masyarakat yang system lapisanya mutlak tertutup dimana tidak ada sama sekali mobilitas sosial yang vertical, betapapun terbukanya system lapisan dalam suatu masyarakat tak mungkin mobilitas sosial yang vertical dilakukan sebebas-bebasnya, mobilitas sosial yang umum berlaku bagi semua masyarakat tak ada karena setiap masyarakat mempunyai ciri-ciri sendiri bagi mobilitas sosialnya yang vertical, laju mobilitas sosial vertical yang disebabkan oleh factor-faktor ekonomi politik serta pekerjaan berbeda,dan yang terakhir adalah berdasarkan bahan-bahan sejarah,khususnya dalam mobilitas sosial vertical yang disebabkan oleh factor-faktor ekonomis politik dan pekerjaan tidak ada kecenderungan yang kontinu perihal bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial.
Menurut Pitrim A Sorokin, mobilitas sosial vertical mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat. Proses mobilitas sosial vertical melalui saluran tadi disebut social circulation. Saluran yang terpenting adalah angkatan bersenjata, lembaga keagamaan, sekolah, organisasi politik, ekonomi dan keahlian. Dari kasus di atas maka saluran yang akan kita bahas adalah organisasi politik , di mana organisasi politik dapat memberi peluang besar bagi para anggotanya untuk naik dalam pertanggaan kedudukan. Apalagi bila ia memiliki kemampuan beragitasi, berorganisasi, dan sebagainya.
Maka sudah jelas jika kita harus menghubungkan antara diskriminasi dan mobilitas sosial vertikal khususnya bagi kaum perempuan sebagai objek yang terdiskriminasi dalam dunia politik yang mana adalah merupakan salah satu saluran mobilitas sosial yang dapat menaikkan kedudukan., bahwa adanya diskriminasi akan sangat menghambat proses mobilitas sosial vertikal ke atas, hal ini terbukti dengan adanya pembatasan suatu oraganisasi tertentu dengan adanya berbagai syarat dan ketentuan, sehingga hanya ada sedikit orang yang mampu mendapatkannya.Jadi di sini kaum perempuan hendaknya dihindarkan dari diskriminasi khususnya dalam hal dunia politik.Karena sudah jelas, sesungguhnya perempuan bisa dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki tak terkecuali dalam hal politik, jika mereka memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama dalam segala bidang. Dan perubahan ini harus didukung oleh semua pihak baik itu dan yang paling utama adalah dimulai dari diri kita.(SfW)


EmoticonEmoticon