“Sekolah gratis ada di mana-mana” itulah jargon yang sering kita dengar lewat iklan yang dibawakan oleh Cut Mini sebagai pemeran utama yang membawa nuansa film “Laskar Pelangi” nya. Iklan ini tentu menjadi berita yang begitu menggiurkan dan menggembirakan bagi pihak-pihak yang merasa terbebani oleh biaya pendidikan yang mahal di Indonesia selama ini. Mengingat di pendidikan di Indonesia dinilai mulai terbengkalai karena banyak sekali anak yang putus sekolah lantaran biaya sekolah yang mahal, maka pemerintah mencanagkan program ”sekolah gratis” yang baru-baru ini menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia. Mereka kaum awam, khususnya yang berada di strata menengah ke bawah, menganggap program ini benar-benar membebasakan biaya sekolah secara 100%, padahal jika ditelusuri dan dianalisa lebih dalam, program ini hanya membebaskan biaya kebutuhan minimal. Tentu secara kasar bisa dikatakan bahwa iklan yang ada hanya lah sebuah pembodohan persepsi masyarakat secara halus dan perlahan.
Walaupun niatnya baik dan positif, namun program ini justru menimbulkan efek-efek negatif yang dinilai merugikan. Dampak negatif yang terjadi antara lain pelaksanaan program ini justru memecah persepsi masyarakat dan menjadikan mereka menjadi terlena dengan kebijakan ini. Banyak kalangan masyarakat yang menganggap sekolah gratis ini benar-benar gratis secara 100%, padahal pada kenyataanya masih banyak syarat dan ketentuan yang berlaku di belakangnya yang pada akhirnya mengakibatkan sekolah gratis ini tidak gratis 100%. Lalu dengan adanya pembiayaan yang seadanya tanpa boleh ditunjang lagi dari pungutan biaya kepada orang tua, fasilitas dan kualitas yang diberikanpun bisa jadi seadanya . Hal ini juga mengakibatkan murid-murid yang bersekolah di sekolah gratis menjadi menyepelekan pembelajaran sebagai contoh murid-murid membolos pada jam pembelajaran, kadang muncul pemikiran bahwa tak ada ruginya jika gagal toh sekolah pun tidak membayar, namun pemikiran dan kenyataan seperti ini yang akan membodohkan dan memperburuk citra pendidikan generasi penerus bangsa. Selain itu, karena dana yang diberikan adalah dana minimal kebutuhan, maka kesejahteraan sekolah bila dilihat dari sisi pembiayaan aspek lain pun akan mengalami kemrosotan, tak hanya itu kesejahteraan guru yang notabene hanya dibayar dari dana kebutuhan minimal, tentu akan mengalami kemunduran dari segi kesejahteraannya.
Dari fakta yang sudah ada, bisa jelas dikatakan bahwa program sekolah gratis ini belum mencapai keefektifan dan tepat guna bagi masyarakat secara maksimal. Jika disoroti dari sisi publikasi atau penyampaiannya kepada khalayak, iklan yang disampaikan haruslah jelas dan sesuai dengan realita. Pemberian unsur endorser yang ada yaitu Cut Mini yang membawakan nuansa laskar pelangi nya memang sudah sesuai, pemberian unsur persuasifnya pun sudah sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, namun penyampaian ini hendaknya jelas, sesuai dengan kenyataan, dan tidak ambigu. Maksudnya, Jika di iklan tersebut dikatakan ”sekolah gratis” maka seharusnya pun benar-benar gratis 100%, agar masyarakat yang melihat dan mendengarnya pun tidak merasa dibohongi. Jika realitanya seperti saat ini, di mana pembiayaan sekolah gratis hanyalah dibatasi pada pembiayaan kebutuhan minimal, maka iklan yang ada seharusnya bukanlah ”sekolah gratis” saja, melainkan diberi embel-embel ”syarat dan ketentuan berlaku”. Hal ini mungkin akan lebih mengantarkan masyarakat pada program dan realita yang sebenarnya. Selain itu, diperlukan adanya saling keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya bagi mereka yang bersinggungan langsung dengan dunia pendidikan dan program sekolah gratis. Sehingga harapan pemerintah lewat program yang telah dicanangkan ini bermanfat dan tepat guna, begitu pula sebaliknya, masyarakat bisa merasakan manfaat dan efek positif dari program ”sekolah gratis” ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon