Hak Memilih atau Kewajiban Memilih?

Golongan putih atau yang lebih akrab kita kenal dengan golput seringkali menjadi perbincangan hangat apalagi mengingat tahun ini adalah tahun pemilu bagi Negara kita. Tanpa kita sadari golput lama-kelamaan justru menjadi layaknya sebuah tradisi yang menjadi trend dari generasi ke generasi. Seyogyanya, mempergunakan hak pilih sesuai dengan ketentuan yang berlaku sangat dianjurkan untuk meminimalisir adanya golput yang dinilai cukup merugikan. Namun sayangnya hak pilih yang ada sering disalah gunakan, hak pilih yang ada memang digunakan, namun hak yang ada digunakan untuk tidak memilih. Faktanya hal seperti itu bukanlah sesuatu yang baru, karena sistem demokrasi yang ada di Indonesia pun melindungi itu. Sering sekali muncul pernyataan bahwa golput sesungguhnya dibenarkan, karena yang ada adalah hak pilih bukan kewajiban memilih, hak tentu saja sifatnya lebih bebas dan tidak terikat, berbeda dengan kewajiban yang sifatnya harus dan terikat oleh peraturan.
Namun, walaupun hak pilih sifatnya bebas atau tidak terikat, jika ini dilakukan dalam jumlah yang sangat besar tentunya akan sangat merugikan. Bayangkan saja jika Negara kita sedang melakukan hajatan, namun hanya sedikit yang berpartisipasi tentunya hal ini akan mengakibatkan hajatan yang dilakukan tidak berjalan dengan lancar. Jika dalam pemilu kali ini banyak rakyat yang golput, hal ini tentu akan mengakibatkan kemrosotan bangsa Indonesia itu sendiri. Mengingat bahwa satu suara akan sangat menentukan maka disinilah yang menjadi titik pemikiran kita. Jika satu suara sama dengan satu jiwa perubahan, maka jika banyak yang tidak memberikan suara maka jiwa-jiwa revolusioner untuk Negara kita akan berkurang sehingga tidak akan terjadi perubahan yang signifikan. Walaupun Indonesia sebagai Negara demokrasi tidak memaksakan hal ini, tetapi perilaku seperti ini bagi Negara demokrasi bukanlah pilihan yang baik.
Jika hal ini dilanjutkan, maka hal ini sangat memungkinkan untuk mempertahankan para anggota legislatif atau mereka yang duduk di pemerintahan namun dinilai tidak professional, tidak aspiratif dan koruptif . Dan hal ini tentunya akan sangat merugikan bagi kelangsungan pembangunan Negara kita. Faktanya yang menggunakan hak memilihnya untuk tidak memilih adalah justru mereka yang berstrata menengah ke atas, justru mereka yang berpendidikan dan intelektualitasnya tinggi, hal ini terjadi mungkin Karena kaum-kaum intelektualitas justru lebih mudah memahami apa yang terjadi sesungguhnya dalam dunia politik, khususnya masalah korupsi atau tindakan merugikan rakyat lainnya yang dilakukan oleh para pejabat Negara. Hal ini memang sungguh ironis, karena masalah demokrasi justru menjadi berbanding terbalik dengan tingkat intelektualitas.
Melihat fakta dan ketentuan yang ada, golput memang dinilai bukanlah sebuah pilihan yang tepat, namun jika kita kembali pada definisi “hak” yang mana sifatnya bebas dan tidak dapat dipaksakan, hal ini tidak bisa diusut terlalu jauh. Namun jika “hak” disini diubah menjadi sebuah “kewajiban” untuk memilih layaknya yang sudah diterapkan di Australia dan Singapura, tentu ceritanya akan berbeda. Namun, siapkah kita untuk itu ?


EmoticonEmoticon