Masalah Politik di Negara Indonesia mungkin ibarat cuaca, dimana setiap hari selalu berubah-ubah dan kita pun selalu ingin tahu mengenai perubahan yang terjadi. Gema politik perihal pemilihan presiden pun sudah pasti masih kita rasakan, apalagi mengingat momen itu merupakan momen yang berpengaruh besar untuk masa depan Bangsa Indonesia lima tahun ke depan. Proses bersejarah ini nantinya akan berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yang tentunya sangat signifikan dan berpengaruh bagi rakyat. Sering muncul dalam benak kita sebagai Warga Indonesia, apakah proses pengambilan keputusan yang dilakukan efektif atau malah menyebabkan kemunduran. Jika kita menengok sejenak ke proses pemilu Amerika Serikat mungkin kita bisa berkaca dan banyak belajar dari negri tersebut. Perhatian publik Amerika Serikat bahkan dunia terfokus pada pelaksanaan konvensi Partai Demokrat yang kemudian disusul dengan konvensi Partai Republik. Hingga sampai pada saat ini ketika proses pemilu telah memasuki tahapan kampanye banyak kejadian menarik yang perlu kita simak dan dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga kita di Indonesia.
Dengan mencermati apa yang terjadi dalam ajang pemilu di Negeri Paman Sam tersebut dapat menjadi bahan untuk membandingkannya dengan praktek politik yang ada di negara kita sendiri yang juga sama-sama menerapkan demokrasi sejak era reformasi digulirkan tepat sepuluh tahun yang lalu. Idealnya praktek politik didasarkan pada pertimbangan rasional, seperti hal nya yang diterapkan di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi, maka segala keputusan yang dihasilkan akan melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang salah satunya adalah sejauh mana kompetensi dan kapabilitas tokoh yang akan dipilihnya dan terutama program, visi dan misi yang ditawarkan. Rakyat Amerika Serikat dalam mempergunakan hak politiknya pada umumnya memiliki karakter yang demikian itu. Terpilihnya Obama sebagai capres yang notabene orang kulit hitam membuktikan bahwa unsur non rasional seperti pertimbangan rasial, asal daerah dan keturunan tidak begitu penting lagi. Ini sangat berbeda dengan kondisi pada dekade 60 an hingga 70 an dimana saat itu diskriminasi rasial masih kuat terasa dalam berbagai aspek kehidupan di Amerika Serikat.
Jika kita kembali menengok Negara kita tercinta Indonesia rupanya pertimbangan yang "kurang" rasional dalam politik masih mewarnai kehidupan bernegara kita, terutama di kalangan masyarakat sendiri. Terdapat kecenderungan adanya ketentuan tidak tertulis yang menyatakan bahwa presiden Indonesia haruslah orang Jawa, sedang wapresnya terserah dari suku manapun. Memang harus diakui bahwa Jawa merupakan suku mayoritas di Indonesia, namun jika terdapat orang yang misalkan bukan dari Etnis Jawa memiliki kapabilitas dan kompetensi yang memadai tentunya akan menjadi naif jika harus dikesampingkan karena kebetulan ia bukan orang Jawa. Demikian juga garis keturunan masih menjadi pertimbangan kuat untuk menentukan sebuah keputusan politik. Hal ini sangat kental terasa di daerah terutama saat pelaksanaan Pilkada. Calon kepala daerah yang di dalam dirinya mengalir darah kebangsawanan akan memiliki nilai jual lebih tinggi di hadapan masyarakat, bahkan terdapat opini di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa keturunan bangsawan lebih layak dan lebih berhak untuk menjadi pemimpin karena di dalam dirinya terdapat pulung, wahyu, tuah dan lain sebagainya yang akan memberi kekuatan dalam kepemimpinannya. Dengan demikian dalam penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik masih diwarnai dengan pertimbangan keturunan dan dalam kampanye untuk menggalang dukungan selalu dikemukakan bahwa calon ini merupakan keturunan raja, bangsawan, kyai atau syeh tertentu. Kondisi ini dapat terjadi karena bagaimanapun juga sistem politik yang dibangun di manapun berada tidak dapat melepaskan keterkaitannya dengan seting sosial di mana sistem tersebut tersusun.
Pelaksanaan debat bagi calon presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan merupakan salah satu sarana bagi rakyat Amerika Serikat untuk mengukur kemampuan para capres dan cawapres sekaligus mengetahui visi, misi dan program masing-masing calon. Hal itulah yang menjadi pertimbangan rakyat AS untuk menentukan keputusan politiknya di hari pemilihan. Pada konvensi partai demokrat, Hillary Clinton, mantan saingan Barrack Obama dalam proses pemilihan calon presiden dari Partai yang telah delapan tahun menjadi oposisi di panggung politik AS tersebut menyampaikan pidatonya. Dari apa yang disampaikannya tersebut tampak jelas sikap kenegarawanan seorang politisi yang merupakan pemandangan langka di negara kita. Ia menyampaikan kepada seluruh simpatisan partai demokrat, terutama para pendukungnya untuk mengalihkan dukungan kepada Obama dan bersama-sama menggalang kekuatan menghadapi pemilu menghadapi calon presiden Mc Cain dari Partai Republik. Hillary juga sama sekali tidak menunjukkan kekecewaannya atas pilihan Obama kepada Joe Biden untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden, sebuah posisi yang sebenarnya juga diinginkannya setelah ia gagal menjadi calon presiden. Rupanya Hillary sadar bahwa pilihan terhadap Biden merupakan strategi untuk menutupi kekurangan Obama dalam kemampuannya untuk menangani politik luar negeri. Biden adalah politisi yang sarat dengan pengalaman kebijakan luar negeri karena ia adalah ketua urusan luar negeri di senat. Melalui duet dengan Biden diharapkan mampu menjadi jawaban atas serangan Partai Republik selama ini yang menyatakan bahwa Obama adalah seseorang yang buta politik luar negeri dan jika terpilih akan mengurangi pengaruh Amerika dalam percaturan dunia.
Dukungan mantan ibu negara di era kepemimpinan presiden Clinton ini terhadap pencalonan Biden menunjukkan jiwa besar seorang negarawan dengan kesediannya untuk mengesampingkan keinginan atau kepentingan pribadinya demi kepentingan yang lebih besar. Secara rasional memang akan lebih menguntungkan jika Obama berpasangan dengan Biden daripada jika berpasangan dengan Hillary dan Hillary pasti sadar akan hal itu. Selain itu dalam momen tersebut kita dapat mencermati bentuk lain dari kedewasaan berpolitik yaitu walaupun pada awalnya diwarnai dengan persaingan dan perbedaan pendapat, apabila suatu keputusan sudah ditetapkan maka semua pihak yang pada awalnya bersaing dan bertentangan akan bersatu padu untuk menjalankan keputusan yang telah diambil dengan sebaik-baiknya.
Di Indonesia sejak reformasi bergulir dan dibukanya pintu demokrasi seluas-luasnya telah terlahir banyak politisi yang memenuhi gelanggang politik di tanah air. Namun di antara banyak politisi tersebut sangat jarang yang memiliki sifat kenegarawanan. Sebaliknya yang ada adalah politisi yang hanya pandai bersilat lidah tanpa ada kesesuaian antara kata dan perbuatan serta hanya mementingkan perut sendiri dengan mengesampingkan kepentingan rakyat banyak yang sebenarnya memberikan andil terbesar bagi mereka untuk dapat mencari nafkah dengan menjadi politisi. Terjadinya kasus korupsi dan asusila yang menimpa wakil rakyat, kasus korupsi para pejabat pusat dan daerah serta kisruh seputar Pilkada merupakan wujud nyata dan manifestasi kurangnya negarawan atau politisi yang bersifat negarawan di Indonesia.
Dari contoh kasus yang telah disebutkan di atas, kita bisa menarik sebuah pemahaman bahwa keputusan yang ada akan sangat berpengaruh pada kemajuan dan kelanjutan dari Negara tersebut. Dengan paparan di atas, kita bisa membandingkan dua sisi yang berbeda dalam tata cara pengambilan keputusan, yang pertama adalah pengambilan keputusan secara rasional dan melalui banyak pertimbangan, kemudian yang kedua adalah pengambilan keputusan yang dinilai kurang rasional. Dengan dilakukannya pertimbangan-pertimbangan yang matang dan kerja sama dari semua pihak yang ada, maka keputusan yang ada pun dapat diterima, dijalankan dan dipertanggungjawabkan dalam masyarakat. Berbeda ceritanya jika, pertimbangan yang dilakukan hanyalah pertimbanagan secra sepihak tanpa melibatakan pihak lain, maka keputusan yang ada akan susah diterima, dijalankan dan dipertanggungjawabkan dalam masyarakat.
Kita bisa menganalisa kasus di atas dengan teori-teori yang sudah ada, menurut J. Habermas salah satu model hubungan kerja antara pihak ilmuwan dan pihak politisi adalah decisionistic model ( model keputusan berdasarkan pertimbangan kepentingan). Menurut model ini keputusan akhir dari suatu kebijakan public berada di tangan pemegang kekuasaan yang pada dasarnya lebih memberikan perhatian pada konflik kepentingan dan nilai. Ilmuwan hanya bertugas melayani kepentingan kekuasaan sehingga, kebijakan dapat dilaksanakan di masyarakat. Dasar dari kerja sama menurut model ini adalah hubungan yang erat antara nilai atau kepentingan dan teknik yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan, nilai, dan kepentingan ilmu. Ilmu dan teknik-teknik ilmiah dimanfaatkan untuk melegitimasi kebijakan pemegang kekuasaan.
Jika kita ibaratkan dalam kasus ini Indonesia adalah negara yang menganut “decisionistic model” maka keputusan yang dianggap kurang rasional itu merupakan salah satu bentuk keputusan yang diambil atas dasar kebebasan pemegang kekuasan atau politisi dalam mengambil keputusan.Hal ini akan lebih memberikan perhatian kepada masalah konflik kepentingan dan nilai. Model ini dinilai lebih mementingkan para politisi karena sudah jelas bahwa keputusan akhir dari suatu kebijakan public berada di tangan pemegang kekuasaan.Entah itu melibatkan seluruh lapisan masyarakat atau tidak, keputusan tetap berada di atas. Hal ini menjadikan kaum-kaum minoritas menjadi susah untuk memberikan suara, dan bisa dikatakan bahwa model ini masih dinilai jauh dari terbentuknya Negara demokrasi, yang akan terbentuk hanyalah sebuah Negara yang menjalankan semua keputusan atas kebijakan public yang hanya diputuskan oleh penguasa, diskusi public, kalaupun ada, hanya berfungsi untuk memberikan kemungkinan terbaik pada pengambilan keputusan, keputusan berada di luar (beyond) diskusi public menurut pendekatan ini.
Jika kita kembali pada kasus di atas , pilihan kita untuk menjalankan demokrasi tidak akan mampu mencapai tujuan yang diharapkan jika dalam implemetasinya masih diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan yang kurang rasional serta tidak dilandasi sikap dewasa dalam berpolitik. Dalam hal ini ada sesuatu yang perlu kita pelajari dari praktek demokrasi di Amerika Serikat termasuk dengan mencermati proses dan berbagai momen yang terjadi dalam tahapan pemilu di negara adidaya tersebut. Walaupun banyak kebijakan politik AS terasa tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan keadilan (terutama dalam kebijakan politik luar negeri) namun terdapat sesuatu hal yang
perlu dicontoh, yaitu bagaimana kita bisa lebih rasional dan mampu mendewasakan diri dalam berdemokrasi serta bagaimana memunculkan politisi yang berwatak negarawan. Dan untuk menjadi Negara yang demokratis, maka diperlukan adanya kerja sama antar semua pihak, seperti jika ditinjau dari teori yang ada maka antara para ilmuwan dan pelaku politik harus ada komunikasi yang menentukan arah dan perkembangan teknik dengan dasar tradisi untuk memecahkan masalah kebutuhan-kebutuhan praktis.(SfW)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon