BOSAN JADI ALTRUIS? jangan sahabatku sayang !!

BOSAN JADI ALTRUIS? jangan sahabatku sayang !!

Tulisan ini didedikasikan secara spesial untuk seorang sahabat yang sangat kucintai...

Berawal dari sebuah pertemuan, proses pertemanan, hingga akhirnya mengkristal menjadi sebuah persahabatan yang tak kan lekang oleh waktu.. bahu membahu saat terjadi masalah..ikut tertawa saat bahagia, dan siap berbagi tangis saat suasana menjadi duka..
Sudah kodratnya bukan? Jika sahabat kita sedang merasa susah dan sedih, kita harus membantu? Sudah seharusnya bukan? Jika sahabat kita sedang membutuhkan teman curhat atau sekedar teman bicara, kita harus memberikan telinga kita untuk mendengar...emm bukan...tidak hanya mendengar menurutku..tapi mendengarkan..mendengar mungkin hanya butuh 20% hati dan perasaan kita, tapi dengan mendengarkan kita bahkan butuh minimal 70% kesadaran dan juga hati untuk melakukanya. Maka tak jarang, kita langka menemukan seorang yang bersedia untuk ”mendengarkan” keluh kesah kita..
Mungkin akan sangat membosankan, jika kalian hanya mendengar kata-kata puitis tentang kehebatan seorang sahabat, mendengarkan kata-kata seperti dalam karya sastra yang mengagung- agungkan sebuah persahabatan..tapi sayang sekali..hal ini tidak akan terjadi pada mereka yang mempunyai sahabat, mereka yang mempunyai dunia ataupun pelukan-pelukan hangat yang selalu siap dalam keadaan apapun, saya yakin anda yang sedang membaca ini termasuk salah satunya..tulisan ini tak bermaksud mendiskriminasikan kalian yang membaca menjadi seorang yang memiliki sahabat dan tidak..karena aku percaya, semua orang pasti memilikinya..mungkin hanya orang-orang yang tak bisa menghargai sebuah cinta, yang akan merasakanya... tapi apakah pernah merasa terkadang, cinta, perhatian, dan rasa sayang kita kepada sahabat, serasa menjadi bomerang bagi diri kita ? dan menjadikan kita lelah melakukanya? ( padahal kodrat sahabat adalah memberikanya secara tulus..?)
Langsung ke pokok persoalan aja lah...mungkin prolog di atas terlalu bertele-tele dan sok puitis..sebelumnya akan dibahas sedikit mengenai altruis..apa itu? ”seperti pernah mendengarnya, tapi aku tak tau artinya” itulah ungkapan yang sering muncul, saat kucoba tanyakan mengenai hal ini kepada teman-temanku..
Kata altruisme pertama kali muncul pada abad ke-19 oleh sosiologis Auguste Comte. Berasal dari kata yunani “alteri” yang berarti orang lain. Menurut Comte, seseorang memiliki tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya. Sehingga altruisme menjelaskan sebuah perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan org lain. Jdi, ada tiga komponen dlm altruisme, yaitu loving others, helping them doing their time of need, dan making sure that they are appreciated.Menurut Baston (2002 dalam (Carr, 2004), altruisme adalah respon yang menimbulkan positive feeling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altruistik tersebut muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan positive feeling sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain. Alasan internal tersebut tidak akan memunculkan egoistic motivation .
Pengertian di atas mungkin singkat, tapi setidaknya bisa menjawab pertanyaan tentang apa itu altruis. Menurutku, setiap orang seharusnya memilki basic altruis dalam dirinya...emm..dengan kalimat lain..setiap orang pasti memiliki basic sifat altruis ini..tentu bukan suatu masalah..sifat altruis justru menjadi anugrah..tapi pertanyaanya..apakah mungkin sifat ini bisa menjadi beban bagi yang memilikinya? Jawabanya adalah IYA...
Based on the true story...terkadang kita merasa kita butuh membantu orang lain, seorang teman mengajak si A untuk menemaninya pergi ke salon, padahal saat itu kita sedang merasa kurang enak badan. Tapi sisi altruis mulai muncul..si A lebih memilih menemani temanya ke salon karena takut temanya kecewa, dan ia mengesampingkan kondisi badanya yang sedang sakit..benarkah tindakan ini? Awalnya merupakan suatu kebanggaan, saaat kita bisa membantu orang lain dan melihat orang lain merasa senang dengan tindakan kita, karena sebagai orang altruis kita akan sangat merasa nyaman saat kita merasa punya banyak teman di sekitar kita..suatu hari si A merasa capek dan terbebani..ia mulai berpikir rugi saat dia menolong temanya, namun teman yang telah ia tolong tidak menghargai sama atas pertolongan yang telah ia terima..si A mulai merasa dimanfaatkan oleh temannya..wajarkah keadaan ini? Dengan adanya masalah ini, ia berinisiatif untuk menanyakan hal ini kepada seorang temannya yang merupakan mahasiswa psikologi..sebut saja si B..saat mendengar curhata dari si A, si B dengan lantang mengatakan “ya, altruis..harusnya kamu bersyukur punya sifat itu, karna justru banyak orang belajar untuk bisa seperti itu”..tapi saat kamu merasa tidak nyaman dengan sifatmu itu..mungkin saja menjadi beban..si A bertanya kepada si B bagaimana cara mengatasi keadaan ini...si B menjawab ( sok profesional ) “ mulai belajar untuk menata kata-kata saat akan menolak ajakan orang yang membutuhan pertlongan, mulai menanamkan POWER OF MIND agar kita tak terbebani”..agak gantung memang..wajar lah baru seorang mahasiswa,belum seorang profesional hehe (but at least,nasihatnya cukup membantu )..tapi si A tidak punya pilihan lain, akhirnya ia melakukan saran si B..dan akhirnya ia mulai menyadari..bahwa sifat altruis itu harus disyukuri,hanya saja kita harus bisa menempatkan porsi yang sesuai unuk membantu orang lain..
Pahami diri sendiri, baru pahami orang lain..
Maknai masalahmu sendiri, baru masalah orang lain..
Karena setiap orang pasti memiliki porsinya sendiri-sendiri untuk menyelesaikan masalahnya..
Lakukan sesuai porsi, jangan merasa terbebani, dan SYUKURi...


Tulisan di atas mungkin membingungkan, tapi penulis sangat beterimakasih bagi pembaca yang sudah bisa sedikit memahami hehe...mengenai topik ini, mungkin agak menyimpang..(maaf saya bukan anak psikologi) jadi mungkin kurang bisa memahami ALTRUIS yang sebenarnya...


[stupid for writing]
Hapus Decisionistic Model,  Menuju Negara Demokrasi

Hapus Decisionistic Model, Menuju Negara Demokrasi

Masalah Politik di Negara Indonesia mungkin ibarat cuaca, dimana setiap hari selalu berubah-ubah dan kita pun selalu ingin tahu mengenai perubahan yang terjadi. Gema politik perihal pemilihan presiden pun sudah pasti masih kita rasakan, apalagi mengingat momen itu merupakan momen yang berpengaruh besar untuk masa depan Bangsa Indonesia lima tahun ke depan. Proses bersejarah ini nantinya akan berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yang tentunya sangat signifikan dan berpengaruh bagi rakyat. Sering muncul dalam benak kita sebagai Warga Indonesia, apakah proses pengambilan keputusan yang dilakukan efektif atau malah menyebabkan kemunduran. Jika kita menengok sejenak ke proses pemilu Amerika Serikat mungkin kita bisa berkaca dan banyak belajar dari negri tersebut. Perhatian publik Amerika Serikat bahkan dunia terfokus pada pelaksanaan konvensi Partai Demokrat yang kemudian disusul dengan konvensi Partai Republik. Hingga sampai pada saat ini ketika proses pemilu telah memasuki tahapan kampanye banyak kejadian menarik yang perlu kita simak dan dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga kita di Indonesia.
Dengan mencermati apa yang terjadi dalam ajang pemilu di Negeri Paman Sam tersebut dapat menjadi bahan untuk membandingkannya dengan praktek politik yang ada di negara kita sendiri yang juga sama-sama menerapkan demokrasi sejak era reformasi digulirkan tepat sepuluh tahun yang lalu. Idealnya praktek politik didasarkan pada pertimbangan rasional, seperti hal nya yang diterapkan di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi, maka segala keputusan yang dihasilkan akan melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang salah satunya adalah sejauh mana kompetensi dan kapabilitas tokoh yang akan dipilihnya dan terutama program, visi dan misi yang ditawarkan. Rakyat Amerika Serikat dalam mempergunakan hak politiknya pada umumnya memiliki karakter yang demikian itu. Terpilihnya Obama sebagai capres yang notabene orang kulit hitam membuktikan bahwa unsur non rasional seperti pertimbangan rasial, asal daerah dan keturunan tidak begitu penting lagi. Ini sangat berbeda dengan kondisi pada dekade 60 an hingga 70 an dimana saat itu diskriminasi rasial masih kuat terasa dalam berbagai aspek kehidupan di Amerika Serikat.

Jika kita kembali menengok Negara kita tercinta Indonesia rupanya pertimbangan yang "kurang" rasional dalam politik masih mewarnai kehidupan bernegara kita, terutama di kalangan masyarakat sendiri. Terdapat kecenderungan adanya ketentuan tidak tertulis yang menyatakan bahwa presiden Indonesia haruslah orang Jawa, sedang wapresnya terserah dari suku manapun. Memang harus diakui bahwa Jawa merupakan suku mayoritas di Indonesia, namun jika terdapat orang yang misalkan bukan dari Etnis Jawa memiliki kapabilitas dan kompetensi yang memadai tentunya akan menjadi naif jika harus dikesampingkan karena kebetulan ia bukan orang Jawa. Demikian juga garis keturunan masih menjadi pertimbangan kuat untuk menentukan sebuah keputusan politik. Hal ini sangat kental terasa di daerah terutama saat pelaksanaan Pilkada. Calon kepala daerah yang di dalam dirinya mengalir darah kebangsawanan akan memiliki nilai jual lebih tinggi di hadapan masyarakat, bahkan terdapat opini di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa keturunan bangsawan lebih layak dan lebih berhak untuk menjadi pemimpin karena di dalam dirinya terdapat pulung, wahyu, tuah dan lain sebagainya yang akan memberi kekuatan dalam kepemimpinannya. Dengan demikian dalam penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik masih diwarnai dengan pertimbangan keturunan dan dalam kampanye untuk menggalang dukungan selalu dikemukakan bahwa calon ini merupakan keturunan raja, bangsawan, kyai atau syeh tertentu. Kondisi ini dapat terjadi karena bagaimanapun juga sistem politik yang dibangun di manapun berada tidak dapat melepaskan keterkaitannya dengan seting sosial di mana sistem tersebut tersusun.
Pelaksanaan debat bagi calon presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan merupakan salah satu sarana bagi rakyat Amerika Serikat untuk mengukur kemampuan para capres dan cawapres sekaligus mengetahui visi, misi dan program masing-masing calon. Hal itulah yang menjadi pertimbangan rakyat AS untuk menentukan keputusan politiknya di hari pemilihan. Pada konvensi partai demokrat, Hillary Clinton, mantan saingan Barrack Obama dalam proses pemilihan calon presiden dari Partai yang telah delapan tahun menjadi oposisi di panggung politik AS tersebut menyampaikan pidatonya. Dari apa yang disampaikannya tersebut tampak jelas sikap kenegarawanan seorang politisi yang merupakan pemandangan langka di negara kita. Ia menyampaikan kepada seluruh simpatisan partai demokrat, terutama para pendukungnya untuk mengalihkan dukungan kepada Obama dan bersama-sama menggalang kekuatan menghadapi pemilu menghadapi calon presiden Mc Cain dari Partai Republik. Hillary juga sama sekali tidak menunjukkan kekecewaannya atas pilihan Obama kepada Joe Biden untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden, sebuah posisi yang sebenarnya juga diinginkannya setelah ia gagal menjadi calon presiden. Rupanya Hillary sadar bahwa pilihan terhadap Biden merupakan strategi untuk menutupi kekurangan Obama dalam kemampuannya untuk menangani politik luar negeri. Biden adalah politisi yang sarat dengan pengalaman kebijakan luar negeri karena ia adalah ketua urusan luar negeri di senat. Melalui duet dengan Biden diharapkan mampu menjadi jawaban atas serangan Partai Republik selama ini yang menyatakan bahwa Obama adalah seseorang yang buta politik luar negeri dan jika terpilih akan mengurangi pengaruh Amerika dalam percaturan dunia.
Dukungan mantan ibu negara di era kepemimpinan presiden Clinton ini terhadap pencalonan Biden menunjukkan jiwa besar seorang negarawan dengan kesediannya untuk mengesampingkan keinginan atau kepentingan pribadinya demi kepentingan yang lebih besar. Secara rasional memang akan lebih menguntungkan jika Obama berpasangan dengan Biden daripada jika berpasangan dengan Hillary dan Hillary pasti sadar akan hal itu. Selain itu dalam momen tersebut kita dapat mencermati bentuk lain dari kedewasaan berpolitik yaitu walaupun pada awalnya diwarnai dengan persaingan dan perbedaan pendapat, apabila suatu keputusan sudah ditetapkan maka semua pihak yang pada awalnya bersaing dan bertentangan akan bersatu padu untuk menjalankan keputusan yang telah diambil dengan sebaik-baiknya.
Di Indonesia sejak reformasi bergulir dan dibukanya pintu demokrasi seluas-luasnya telah terlahir banyak politisi yang memenuhi gelanggang politik di tanah air. Namun di antara banyak politisi tersebut sangat jarang yang memiliki sifat kenegarawanan. Sebaliknya yang ada adalah politisi yang hanya pandai bersilat lidah tanpa ada kesesuaian antara kata dan perbuatan serta hanya mementingkan perut sendiri dengan mengesampingkan kepentingan rakyat banyak yang sebenarnya memberikan andil terbesar bagi mereka untuk dapat mencari nafkah dengan menjadi politisi. Terjadinya kasus korupsi dan asusila yang menimpa wakil rakyat, kasus korupsi para pejabat pusat dan daerah serta kisruh seputar Pilkada merupakan wujud nyata dan manifestasi kurangnya negarawan atau politisi yang bersifat negarawan di Indonesia.
Dari contoh kasus yang telah disebutkan di atas, kita bisa menarik sebuah pemahaman bahwa keputusan yang ada akan sangat berpengaruh pada kemajuan dan kelanjutan dari Negara tersebut. Dengan paparan di atas, kita bisa membandingkan dua sisi yang berbeda dalam tata cara pengambilan keputusan, yang pertama adalah pengambilan keputusan secara rasional dan melalui banyak pertimbangan, kemudian yang kedua adalah pengambilan keputusan yang dinilai kurang rasional. Dengan dilakukannya pertimbangan-pertimbangan yang matang dan kerja sama dari semua pihak yang ada, maka keputusan yang ada pun dapat diterima, dijalankan dan dipertanggungjawabkan dalam masyarakat. Berbeda ceritanya jika, pertimbangan yang dilakukan hanyalah pertimbanagan secra sepihak tanpa melibatakan pihak lain, maka keputusan yang ada akan susah diterima, dijalankan dan dipertanggungjawabkan dalam masyarakat.
Kita bisa menganalisa kasus di atas dengan teori-teori yang sudah ada, menurut J. Habermas salah satu model hubungan kerja antara pihak ilmuwan dan pihak politisi adalah decisionistic model ( model keputusan berdasarkan pertimbangan kepentingan). Menurut model ini keputusan akhir dari suatu kebijakan public berada di tangan pemegang kekuasaan yang pada dasarnya lebih memberikan perhatian pada konflik kepentingan dan nilai. Ilmuwan hanya bertugas melayani kepentingan kekuasaan sehingga, kebijakan dapat dilaksanakan di masyarakat. Dasar dari kerja sama menurut model ini adalah hubungan yang erat antara nilai atau kepentingan dan teknik yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan, nilai, dan kepentingan ilmu. Ilmu dan teknik-teknik ilmiah dimanfaatkan untuk melegitimasi kebijakan pemegang kekuasaan.
Jika kita ibaratkan dalam kasus ini Indonesia adalah negara yang menganut “decisionistic model” maka keputusan yang dianggap kurang rasional itu merupakan salah satu bentuk keputusan yang diambil atas dasar kebebasan pemegang kekuasan atau politisi dalam mengambil keputusan.Hal ini akan lebih memberikan perhatian kepada masalah konflik kepentingan dan nilai. Model ini dinilai lebih mementingkan para politisi karena sudah jelas bahwa keputusan akhir dari suatu kebijakan public berada di tangan pemegang kekuasaan.Entah itu melibatkan seluruh lapisan masyarakat atau tidak, keputusan tetap berada di atas. Hal ini menjadikan kaum-kaum minoritas menjadi susah untuk memberikan suara, dan bisa dikatakan bahwa model ini masih dinilai jauh dari terbentuknya Negara demokrasi, yang akan terbentuk hanyalah sebuah Negara yang menjalankan semua keputusan atas kebijakan public yang hanya diputuskan oleh penguasa, diskusi public, kalaupun ada, hanya berfungsi untuk memberikan kemungkinan terbaik pada pengambilan keputusan, keputusan berada di luar (beyond) diskusi public menurut pendekatan ini.
Jika kita kembali pada kasus di atas , pilihan kita untuk menjalankan demokrasi tidak akan mampu mencapai tujuan yang diharapkan jika dalam implemetasinya masih diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan yang kurang rasional serta tidak dilandasi sikap dewasa dalam berpolitik. Dalam hal ini ada sesuatu yang perlu kita pelajari dari praktek demokrasi di Amerika Serikat termasuk dengan mencermati proses dan berbagai momen yang terjadi dalam tahapan pemilu di negara adidaya tersebut. Walaupun banyak kebijakan politik AS terasa tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan keadilan (terutama dalam kebijakan politik luar negeri) namun terdapat sesuatu hal yang
perlu dicontoh, yaitu bagaimana kita bisa lebih rasional dan mampu mendewasakan diri dalam berdemokrasi serta bagaimana memunculkan politisi yang berwatak negarawan. Dan untuk menjadi Negara yang demokratis, maka diperlukan adanya kerja sama antar semua pihak, seperti jika ditinjau dari teori yang ada maka antara para ilmuwan dan pelaku politik harus ada komunikasi yang menentukan arah dan perkembangan teknik dengan dasar tradisi untuk memecahkan masalah kebutuhan-kebutuhan praktis.(SfW)
Aborsi Secara Medis Dan Moral

Aborsi Secara Medis Dan Moral

Dalamkehidupan kita sehari-hari, kita pasti sering menghadapi dua realita yang mungkin hampir sulit sekali dipisahkan, yaitu antara pengetahuan dan keyakinan. Dua hal ini bisa dibilang selalu mewarnai setiap fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan.Namun, jika kita telusuri lebih dalam lagi dua hal ini memiliki perbedaan dan memang harus dibedakan. Pengetahuan adalah sebuah cara pandang terhadap objek, namun objek itu benar-benar harus ada dan dapat dipertanggungjawabkan, berbeda dengan keyakinan yang mana dalam memandang suatu objek, objek itu tidak harus ada. Mungkin kita akan lebih sulit memahami jika hanya diberikan sekelumit pengertian saja. Lewat kasus di bawah ini, kita akan lebih bisa memahami perbedaan antara pengetahuan dan keyakinan.
Seperti kita ketahui, era globalisasi terus berkembang dan tentu banyak sekali perubahan yang kita alami di berbagai macam aspek kehidupan. Perubahan yang terjadi pun terasa begitu cepat, sehingga terkadang kita menjadi belum atau kurang siap untuk menghadapinya. Begitu cepatnya perubahan yang terjadi bisa kita lihat lewat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, hampir semua peralatan yang ada sekarang sudah berada pada taraf “canggih” . Namun pada kenyataannya, hal ini membawa kita menuju pada dua sisi yang bertolak belakang yaitu sisi positif dan negatif. Kita tentu bersyukur dengan adanya efek-efek positif yang bisa kita alami, namun sungguh ironis, jika perkembangn teknologi yang ada justru menghadapkan kita pada kenyataan yang negatif. Pernyataan yang telah disebutkan ini, akan kita bahas lewat satu pokok permasalahan yaitu aborsi.
Aborsi merupakan salah satu fenomena yang mungkin sudah sangat familiar di telinga kita. Kita sering sekali dihadapkan pada berita-berita baik di koran, radio, maupun televisi mengenai penggungguran kandungan yang dilakukan secara illegal, atau berita mengenai dukun beranak ataupun dokter gadungan yang membuka praktek aborsi ini. Hal ini memang menjadi sesuatu yang sangat kontroversial sekali, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga dari segi moral atau agama. Begitu banyak perdebatan terjadi sehubungan dengan masalah ini, ada pihak yang menanggapinya dari segi medis atau pengetahuan ada pula yang menanggapi masalah aborsi ini dari segi moral atau agama. Tentu kedua pihak dengan cara pandang yang berbeda itu memiliki alasan dan juga dasar mengapa mereka menanggapi dan berpendapat seperti itu.
Pertama, ada baiknya kita mengetahui apa pengertian dari aborsi. Menurut The World Book Encyclopedia yang dikeluarkan A Collector’s Printing hal. 14 a tahun 1976 - Aborsi adalah berakhirnya kehamilan seseorang sebelum janin bayi dapat hidup diluar kandungan, kemudian selanjutnya menurut The New Lexicon Webster’s Encyclopedia Dictionary Of The English Language Deluxe Edition, hal. 3 - Aborsi adalah pengeluaran janin bayi dari rahim baik secara paksa maupun secara tidak sengaja, yang terakhir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua hal 2 - Aborsi adalah pengguguran kandungan. Itu adalah pengertian aborsi jika dilihat atau dipandang secara pengetahuan.Karena untuk menciptakan sebuah pemahaman ini, dibutuhkan pemikiran tentang teori-teori ataupun pengetahuan. Sedangkan jika kita tinjau pengertian aborsi dari cara pandang moral atau agama sudah pasti akan berbeda dengan cara pandangnya melalui pengetahuan. Pemahaman tiap agama dan kepercayaan dan yang ada di Indonesia tentang aborsi mungkin memiliki variasi sesuai dasar biblis mereka masing-masing, tetapi secara umum, pandangan setiap agama yang ada pasti sama, yaitu bahwa melakukan tindakan aborsi merupakan sebuah perilaku dosa yang sangat tidak dibenarakan oleh ajaran agama. Kita bisa kutip salah satu ajaran agama di Indonesia berdasarkan dasar biblis yang dianut melakukan aborsi karena aborsi adalah pembunuhan terhadap janin bayi. Janin bayi adalah manusia maka kalau kita membunuh janin bayi berarti kita membunuh manusia, karena itu aborsi adalah pembunuhan terhadap manusia ciptaan Allah. Dan pembunuhan adalah dosa karena membunuh adalah melanggar hukum Allah “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum” (Matius 5:21). “Jangan membunuh” (Keluaran 20:13).
Dalam kehidupan, menanggapi masalah aborsi ini. Muncul dua kubu, yaitu kubu yang pro terhadap aborsi dan kubu yang kontra terhadap aborsi. Aborsi, antara sisi medis dan sisi moralMereka yang pro mengatakan : adalah hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan apakah ia akan meneruskan mengandung janinnya (dari hasil apapun; baik pernikahan resmi, hamil di luar pernikahan maupun korban perkosaan) dan mereka yang kontra berpendapat : adalah bukan hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan kehidupan janin yang dikandungnya, hanya Tuhan-lah yang berhak menentukannya.Terlepas dari apapun alasan yang diajukan, entah itu demi kebaikan “si ibu muda” yang belum siap menjadi orangtua maupun karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membiayai kehidupan ‘sang anak’ kelak, aborsi tetaplah merupakan suatu pembunuhan terhadap suatu kehidupan manusia. Yang menjadi kontroversi adalah sejak usia kehamilan berapakah janin dalam kandungan layak disebut “memiliki” hidup sebagai suatu pribadi? Berbagai pandangan yang berusaha menyoroti kontroversi tersebut akan diutarakan lebih lanjut. Kita akan mengulas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni pandangan secara medis dan secara moral. Dalam dunia medis, aborsi secara garis besar dibedakan menjadi dua macam, yakni aborsi spontan dan aborsi provokatus. Aborsi provokatus selanjutnya dibedakan menjadi aborsi provokatus terapeutik dan aborsi provokatus kriminalis.Aborsi spontan penyebabnya dapat karena faktor maternal (ibu) seperti infeksi, penyakit kronik yang melemahkan ibu, pengaruh hormonal ibu, kekurangan gizi pada ibu (malnutrisi), kelelahan fisik, trauma psikologis, kelainan rahim, kelainan sistem pertahanan (sistem imun). Selain faktor maternal, faktor janin sendiri berperanan, yakni janin yang mengalami kelainan kromosom, sehingga janin tak dapat tumbuh dengan baik dan akhirnya meninggal dalam kandungan.Pendekkata, aborsi spontan terjadi diluar campur tangan manusia.Aborsi provokatus adalah aborsi yang terjadi karena campur tangan manusia, dibedakan menjadi dua yaitu terapeutik/elektif dan kriminalis. Aborsi terapeutik dapat dilakukan dengan indikasi medis sebagai berikut yang pertama adalah bila kelanjutan kehamilan dapat mengancam jiwa ibu atau menjadi gangguan yang serius bagi kesehatan ibu, yang kedua bila kelanjutan kehamilan kemungkinan besar akan menghasilkan persalinan anak dengan cacat bawaan berat atau cacat mental.
Legalitas aborsi provokatus terapeutik diatur dalam UU No 23/1992 tentang Kesehatan.Aborsi kriminalis merupakan tindakan pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis, yang lazim dikenal dengan sebutan aborsi/pengguguran. WHO memperkirakan per tahun terjadi sekitar 750.000 sampai 1,5 juta kasus aborsi spontan maupun aborsi provokatus. Namun jumlah ini bisa jauh lebih besar lagi mengingat kejadian aborsi provokatus kriminalis yang tidak mungkin dilaporkan.Aborsi provokatus baik bertujuan terapeutik maupun aborsi kriminalis tidaklah tanpa resiko yang sedikit kendati dilakukan oleh tenaga medis profesional sekalipun, seperti dokter spesialis kebidanan dan kandungan misalnya. Resiko akan menjadi semakin besar jika aborsi, khususnya aborsi kriminalis dilakukan bukan oleh tenaga medis profesional, seperti dilakukan oleh dukun ataupun dilakukan sendiri dengan cara-cara yang tidak aman seperti memasukan alat-alat tertentu ataupun zat kimia tertentu yang tidak steril dan bersifat racun ke dalam vagina.
Resiko dari tindakan aborsi provokatus tidak hanya mencakup resiko jangka pendek melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang tersering adalah terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok septik akibat tindakan aborsi yang tidak steril yang sering berakhir dengan kematian dan juga kegagalan ginjal sebagai penyerta syok ataupun yang ditimbulkan karena penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk menimbulkan aborsi, seperti lisol, sabun, phisohex.Resiko jangka panjang yang akan dihadapi oleh seseorang yang melakukan aborsi provokatus adalah kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan aborsi. Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan), aborsi spontan pada kehamilan berikutnya, bayi berat badan lahir rendah sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium.
Menurut hukum Islam (fiqih), hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram. Namun hukum dasar tersebut dapat berubah apabila ada sebab-sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Dalam Islam sendiri ada beberapa pandangan mengenai sampai usia kehamilan berapa aborsi masih boleh dilakukan.Dalam Islam ada yang memakai batas 120 hari usia kehamilan, setelah usia 120 hari sama sekali dilarang, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Batas 120 hari didasarkan pada hadis empat puluh, dimana Nabi Muhammad S.A.W memberitahukan dalam proses terciptanya manusia sel telur dan sel sperma tersimpan selama 40 hari dalam rahim sebagai nuthfah (mani), selama 40 hari berikutnya sebagai alaqah (segumpal darah), kemudian 40 hari berikutnya sebagai mudhghah (segumpal daging), setelah itu proses khalqan aakhar (pemberian nyawa) terjadi. Al Quran dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14 memberikan informasi yang serupa.Menurut Mazhab Hanafi, aborsi sebelum kehamilan berusia 120 hari diizinkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Indikasinya antara lain kondisi kesehatan ibu sangat buruk, kehamilan dan persalinan beresiko tinggi, kehamilan yang terjadi saat perempuan masih menyusui bayi sementara ayah si bayi tidak mempunyai pendapatan yang tetap untuk membeli susu pengganti ASI. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut maka hukumnya jika melakukan aborsi menjadi makruh. Penganut mazhab Syafi’i terpecah tiga pendapat, sebagian seperti Ibn al-Imad dan al Ghazali melarang aborsi karena termasuk kejahatan terhadap makhluk hidup. Muhammad ibn Abi Said mengizinkan dalam batas 80 hari, alasannya karena janin masih dalam bentuk nuthfah dan alaqah. Dan yang lainnya lagi membolehkan aborsi secara mutlak sebelum kehamilan berusia 120 hari. Sebagian besar pengikut mazhab Maliki kecuali al Lakhim tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan membuang produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari. Alasannya, bila air mani telah tersimpan dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan. (Maria Ulfah Anshor;Kompas, 2 Juli 2001)

Dalam agama Kristen, khususnya Katolik, tradisi Gereja amat jelas. Moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi manusia dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah kelahiran. Hidup manusia adalah nilai paling fundamental, namun bukanlah nilai yang paling tinggi. Hidup manusia dapat dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi dan yang lebih mendesak. Maka, banyak ahli teologi moral Katolik yang berpendapat bahwa kalau seorang ibu yang tidak mungkin diselamatkan bila kehamilannya berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan oleh karena penyakit sang ibu juga tidak mampu hidup sendiri diluar kandungan, dalam konflik itu hidup ibu yang mesti berlangsung terus harus diselamatkan biarpun karenanya hidup anak tidak mungkin diselamatkan. Yang terpenting adalah kehidupan harus dipelihara, jika tidak mungkin memelihara kehidupan ibu dan anak, sekurang-kurangnya hidup satu (ibu) terus berjalan.
Di atas kita sudah membahas mengenai fenomena aborsi diihat dari segi pengetahun baik itu medis maupun hukum, dan juga dari segi keyakinan yakni dari segi moral maupun agama. Dan dari pemaparan di atas, sudah cukup jelas bahwa pengetahuan dan keyakinan merupakan suatu hal yang harus dibedakan, karena cara pandangnya mengenai suatu objekpun berbeda. Menurut Plato, pengetahuan akan kebenaran adalah mengingat kembali apa yang sudah diketahuinya, sebaliknya, keyakinan adalah objek yang disadari sebagai ada itu, tidak perlu harus ada sebagaimana adanya. Secara ringkas dan sederhana kita bisa katakan bahwa aborsi menimbulkan dua penafsiran yang pertama dilihat dari segi pengetahuan, yang kedua dari segi keyakinan. Dari segi pengetahuan aborsi bisa saja dibenarkan, bisa saja tidak mengingat keselamatan ibu biasanya dipertaruhkan. Namun dari segi agama atau keyakinan, aborsi merupakan suatu tindakan dosa yang sangat tidak dibenarakan.(SfW)
Diskriminasi Perempuan Dalam Dunia Politik Menghambat Mobilitasnya

Diskriminasi Perempuan Dalam Dunia Politik Menghambat Mobilitasnya

Jika kita mendengar kata perempuan tentu banyak sekali hal yang muncul di pikiran kita baik itu positif maupun negatif, kita bisa saja berpikiran sesosok perempuan adalah sosok yang lembut , penuh kasih sayang dan berbau sesuatu yang mengandung unsur perasaan. Berpikiran bahwa perempuan adalah sosok seorang ibu yang telah melahirkan kita dengan segala pengorbananya. Tapi di luar itu, pada realita yang sangat luas masih saja ada anggapan klise yang tidak pernah hilang, bahwa perempuan dianggap hanya sebagai “kanca wingking” dalam hal ini perempuan di anggap berperan nomor dua setelah laki-laki, perempuan dianggap hanya memiliki wilayah kekuasaan dalam lingkup rumah tangga, yang hanya berkecimpung dalam hal memasak, melayani suami, dan mengurus anak, jadi diberikan batas-batas baginya untuk bergerak dan bekerja. Selalu saja ada pandangan yang melarang perempuan untuk bisa keluar dari batas itu, sedangkan laki-laki sering dikaitkan dengan masalah publik atau di luar rumah, padahal jelas bahwa di jaman modern seperti ini sudah bukan sesuatu yang seharusnya diperdebatkan lagi, bahwa perempuan dan laki-laki itu sederajat ataukah tidak. Pada sistem sosial Indonesia sendiri , dinilai masih cenderung menempatkan wanita pada posisi yang terdiskriminasi. Dan anggapan atau pandangan seperti ini tentu akan sangat menghambat perempuan dalam struktur sosial untuk mengimbangi posisi laki-laki. Padahal jika kita lihat emansipasi wanita sudah dikumandangkan di mana-mana, idealnya sudah diakui di mana-mana bahwa perempuan itu sudah diakui seerajat dan memiliki hak serta kewajiban yang sama seperti kaum laki-laki, dan jaman sekarang ini adalah jaman egaliter yang menempatkan laki-laki dan perempuan berdasarkan motif kemampuan (achievement).
Dalam UUD 1945 disebutkan adanya jaminan pendidikan bagi warga Negara untuk mendapatkan pendidikan. Artinya,tidak ada diskriminasi baik laki-laki maupun perempuan, memang hal ini sudah kita jumpai implementasinya, namun kita juga masih sering menjumpai bahwa perempuan masih sering di nomor duakan,masih sering dianggap remeh, dianggap tidak berkualifikasi dalam hal-hal di luar lingkup rumah tangga. Tentu hal ini sangat ironis sekali , bagi kaum perempuan yang justru mayoritas penduduk di Negara kita adalah berjenis kelamin ini. Lama-kelamaan perempuan berkesan menjadi kaum yang di pinggirkan, dan terdiskriminasi. Meskipun secara kuantitatif kaum perempuan lebih banyak tetapi hal ini tidak memberikan jaminan terhadap hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu faktor penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang di ambil meskipun itu menyangkut kehidupan-kehidupan perempuan. Hal ini mengakibatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik hanya karena semata-mata mereka adalah kaum perempuan. Dunia perpolitikkan yang sangat dekat dengan kekuasaan,dengan jabatan dan dengan materi. Tentu hal ini sangat tidak mungkin bagi seorang perempuan untuk terjun di dalamnya, jika anggapan bahwa perempuan hanyalah “kanca wingking” dan memiliki tugas dalam lingkup keluarga dan tak lebih dari itu tetap bersarang di pikiran kita. Padahal jelas,saat ini jaman sudah modern dan saatnya untuk mengubah semua pikiran klise yang akan menghambat kemajuan bangsa.
Mendengar kata politik, tentu akan sulit bagi kita untuk menghubungkannya dengan perempuan. Sejak dulu politik selalu dikaitkan dengan dunia laki-laki dan terkesan tabu dimasuki perempuan. Perempuan memiliki hak yang sangat minim dan terbatas dalam bidang ini, Pada realitanya hak politik mereka dipasung sedemikian rupa dengan ada batasan 30 % keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik. Fakta-fakta yang lain yitu presentase wanita diparlemen masih 12,2 persen, dalam posisi administrator dan manajer 6,6persen. Bagian dari penghasilan yang diperoleh wanita baru 25,3 persen dan angka melek huruf wanita 76,4 persen sedangkan laki-laki 88,8 persen.
Padahal jika mengingat bahwa Negara kita adalah Negara demokrasi maka adanya partisipasi politik dari perempuan itu juga menjadi salah satu unsur yang menjadi syarat atau mendukung pelaksanaan demokrasi. Sangat tidak dibenarkan jika masih ada ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan tersingkirnya kaum perempuan dari kancah perpolitikan. Karena demokrasi yang sejati dan ideal adalah di mana semua anggota masyarakatnya berkedudukan sama, punya hak dan kewajiban sama, serta sama-sama punya hak untuk bersuara dan didengar. Maka sudah seharusnya dan selayaknya perempuan ikut andil dalam dunia politik, masalah kemampuan, asal diberikan kesempatan yang sama tentu wanita tidak akan kalah dengan laki-laki. Dan di Indonesia khususnya, banyak sekali aspek dalam masalah pemerintahan atau Negara yang membutuhkan sentuhan atau andil secara langsung dari kaum perempuan. Banyak sekali masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan perempuan, seperti kekerasan pada perempuan seperti kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan konflik seperti Aceh, atau kita tengok kasus Nirmala Bonat beserta TKW lainnya yang diperlakukan layaknya binatang,ataupun kekerasan dalam rumah tangga begitu pula kasus buruh migran Indonesia di luar negri yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia, dan kasus-kasus serupa lainnya.Di sini jelas bahwa sesungguhnya negara atau pemerintah juga berperan dalam melestarikan budaya patriaki dengan segala macam bentuk kebijakan yang dihasilkan, namun hasil dan atau pelaksanaan kewajiban itu belum bisa memberikan keuntungan kepada kaum perempuan itu sendiri.Dan dari hal ini munculah desakan dan tuntutan agar ada perlindungan, perhatian, dan kesetaraan bagi kaum perempuan.Disinilah pentingnya partisipasi perempuan dalam politik untuk bias memperjuangkan hal itu, karena yang sungguh-sungguh memahami dan mengerti masalah, persoalan, dan kondisi perempuan adalah perempuan itu sendiri. Dengan adanya partisipasi politik dari perempuan, diharapkan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang tentu bisa memberi perlindungan dan tentunya menguntungkan bagi kaum perempuan.
Saat ini sudah kita jumpai bahwa perempuan sudah ikut andil atau ambil bagian dalam dunia politik, bisa kita tengok dalam perihal pemilihan suara, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan memainkan peranan penting dalam perolehan suara dalam suatu partai,ini bisa kita flash back pada pemilu legislatif tahun 2004. Bahkan pada beberapa partai caleg perempuan memperoleh suara terbanyak tetapi terpakasa harus “menyerahkan” suaranya kepada caleg dengan nomor urut di atasnya karena mekanisme internal partai dalam penyusunan nomor urut caleg, sementara jarang partai yang menempatakan perempuan di urutan teratas, apalagi dengan adanya BPP(Bilangan Pembagi Pemilih), dan hal ini tentu akan sangat merugikan caleg yang berada di nomor urut tengah-bawah dalam memperoleh kursi. Dan sistem inilah yang mengakibatkan walau perempuan mendapat suara terbanyak namun tidak bisa mendapatkan kursi. Hal ini tentu sangat mengecewakan khususnya bagi kaum perempuan, tapi dari sini kita bisa lihat bahwa perempuan sesungguhnya memiliki daya saing dalam bidang politik. Inilah salah satu contoh bentuk marginalitas politik. Namun yang tetap menjadi akar masalah adalah adanya unsur pembedaan dan pandangan budaya patriakis yang mengakibatkan perempuan menjadi kaum marginal khususnya dalam hal partisipasi politik.Maka dalam hal ini diperlukan adanya pembenahan paradigma , dan juga perubahan terkhusus bagi pemerintah kita secara politis yang juga ikut serta melestarikan budaya patrirakis yang merugikan perempuan. Jadi disini kaum perempuan menjadi terdiskriminasi,dan karena adanya diskriminasi ini, maka mobilitas sosial khususnya dalam dunia politik menjadi terhambat. Kasaranya, karena terdiskriminasi maka kaum perempuan tidak dapat bergerak ke jenjang yang lebih tinggi, hal ini diakibatkan karena adanya pembatasan dan hambatan mobilitas yang terjadi
Jika dikaji dari kacamata ilmu sosial, masalah atau studi kasus di atas akan dihubungkan dengan perihal mobilitas sosial dan bagaimana diskriminasi dapat menghambatnya.Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Tipe mobilitas secara prinsipil ada 2 macam, yaitu mobilitas vertikal dan horizontal.Mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertical adalah perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya,yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya maka terdapat 2 jenis mobilitas sosial yang vertical,yaitu yang naik (social-climbing) dan yang turun (social-sinking).Namun yang akan dibahas kali ini sehubungan dengan kasus di atas adalah mobilitas sosial vertical naik, mobilitas sosial naik memiliki 2 bentuk utama yaitu yang pertama masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada dan yang kedua adalah pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.
Semakin seimbang kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan kedudukan-kedudukan tersebut akan semakin besar mobilitas sosial.Pada masyarakat berkasta yang sifatnya tertutup , hampir tidak ada mobilitas sosial yang vertical karena kedudukan seseorang telah ditentukan sejak dilahirakan.Sedangkan dalam sistem lapisan terbuka, kedudukan yang hendak dicapai tergantung pada usaha dan kemampuan si individu. Prinsip-prinsip umum yang sangat penting bagi mobilitas sosial vertical antara lain : Hampir tidak ada masyarakat yang system lapisanya mutlak tertutup dimana tidak ada sama sekali mobilitas sosial yang vertical, betapapun terbukanya system lapisan dalam suatu masyarakat tak mungkin mobilitas sosial yang vertical dilakukan sebebas-bebasnya, mobilitas sosial yang umum berlaku bagi semua masyarakat tak ada karena setiap masyarakat mempunyai ciri-ciri sendiri bagi mobilitas sosialnya yang vertical, laju mobilitas sosial vertical yang disebabkan oleh factor-faktor ekonomi politik serta pekerjaan berbeda,dan yang terakhir adalah berdasarkan bahan-bahan sejarah,khususnya dalam mobilitas sosial vertical yang disebabkan oleh factor-faktor ekonomis politik dan pekerjaan tidak ada kecenderungan yang kontinu perihal bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial.
Menurut Pitrim A Sorokin, mobilitas sosial vertical mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat. Proses mobilitas sosial vertical melalui saluran tadi disebut social circulation. Saluran yang terpenting adalah angkatan bersenjata, lembaga keagamaan, sekolah, organisasi politik, ekonomi dan keahlian. Dari kasus di atas maka saluran yang akan kita bahas adalah organisasi politik , di mana organisasi politik dapat memberi peluang besar bagi para anggotanya untuk naik dalam pertanggaan kedudukan. Apalagi bila ia memiliki kemampuan beragitasi, berorganisasi, dan sebagainya.
Maka sudah jelas jika kita harus menghubungkan antara diskriminasi dan mobilitas sosial vertikal khususnya bagi kaum perempuan sebagai objek yang terdiskriminasi dalam dunia politik yang mana adalah merupakan salah satu saluran mobilitas sosial yang dapat menaikkan kedudukan., bahwa adanya diskriminasi akan sangat menghambat proses mobilitas sosial vertikal ke atas, hal ini terbukti dengan adanya pembatasan suatu oraganisasi tertentu dengan adanya berbagai syarat dan ketentuan, sehingga hanya ada sedikit orang yang mampu mendapatkannya.Jadi di sini kaum perempuan hendaknya dihindarkan dari diskriminasi khususnya dalam hal dunia politik.Karena sudah jelas, sesungguhnya perempuan bisa dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki tak terkecuali dalam hal politik, jika mereka memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama dalam segala bidang. Dan perubahan ini harus didukung oleh semua pihak baik itu dan yang paling utama adalah dimulai dari diri kita.(SfW)
Bagaimana Mengkritisi Media Massa ?

Bagaimana Mengkritisi Media Massa ?

“Kekuatan tulisan merupakan senjata yang sangat tajam”. Ungkapan yang mungkin multi interpretasi ini, sekiranya bisa mewakili peran media massa dalam membentuk opini publik.
Media massa saat ini bisa dipastikan merupakan komponen vital yang tidak bisa dihilangkan dari kehidupan sosial masyarakat. Pasalnya, kemampuan media massa untuk menangkap dan mencerna realitas-realitas kehidupan, kemudian mensarikanya dalam bentuk tulisan telah berhasil memasuki pundi-pundi kehidupan. Hal ini menjadikan media massa menduduki peran penting dan salah satunya adalah membentuk opini publik. Publik pada umumnya memilki interpretasi atau cara pandang yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu masalah, dan dalam hal ini media massa hadir sebagai penengah. Media massa itu sendiri memiliki suatu area otoritas untuk menyajikan suatu masalah dari satu sudut pandang sehingga pada akhirnya, hal inilah yang akan mengerucut membentuk opini publik. Lalu, ” Apakah media massa bisa membangun opini publik yang salah?” ,jawabanya ”Ya!”.
Spektrum Media Massa
Berangkat dari kinerja media massa pada peristiwa kecelakaan Pesawat Adam Air KI 574 Jenis Boeing 737-400 pada awal Januari Tahun 2007 lalu, kita bisa menangkap celah ketidakprofesionalan media massa yang pada akhirnya membentuk opini publik yang salah. Pada saat itu, muncul kegelisahan baik bagi keluarga korban maupun masyarakat akan hilangnya pesawat Adam Air tersebut, dan masalah ini sering sekali menghiasi pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik. Beberapa waktu setelah itu, tiba-tiba muncul head line di hampir semua media massa bahwa “ Pesawat Adam Air telah ditemukan”. Hal ini tentu merupakan berita bahagia yang telah ditunggu-tunggu oleh keluarga korban dan masyarakat. Namun, intermezo kegelisahan ini, pada akhirnya justru membawa media massa pada disfungsi mereka dalam membentuk opini publik. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal itu hanyalah rumor semata yang tidak dapat dibuktikan fakta dan kebenaranya. Sungguh ironis sekali, bak panggung sandirawa yang sedang ber’scene’ bahagia, tiba-tiba disihir seketika menjadi suasana penyesalan dan duka cita yang mendalam. Tidak hanya itu, jika kita telusuri lebih dalam lagi hal ini akan berdampak pada psikologis atau kejiwaan masyarakat, khususnya keluarga korban. Yang lebih penting lagi adalah karena ketidakprofesionalan media massa dalam kinerjanya ini pada akhirnya membawa media massa pada citra yang kurang fungsional di hati masyarakat. Dengan kata lain, spektrum media massa ternyata sangat tajam dan berbahaya, apalagi jika celah ketidakprofesionalan kinerjanya telah dikonsumsi oleh masyarakat. Lalu bagaimana kita bisa menanggapi secara kritis tentang hasil kinerja media massa?
Kritis
Sebagai manusia, kita tentu tidak ingin menjadi manusia yang biasa-biasa saja, yang hanya menerima apapun yang ada tanpa berpikir sekalipun. Sama halnya dengan menanggapi kinerja media massa, kita sebagai konsumen berita hendaknya bersikap tanggap dan kritis agar tidak terhanyut dan terbentuk dalam opini publik yang salah. Cermat dan tidak gegabah, sikap ini sungguh diperlukan dalam menyikapi suatu informasi. Kita harus cermat menangkap maksud berita yang ditulis, dan jangan begitu saja terhanyut oleh diksi media massa yang saat itu digunakan, yang dibutuhkan adalah kecermatan dalam menilik sumber berita dan sinkroisasi dengan fakta, jangan gegabah. Jangan mudah terpengaruh, Sikap yang satu ini mungkin lebih bersifat personal atau pribadi, karena masing-masing dari kita akan berbeda dalam menangkap dan mencerna informasi. Seorang pribadi yang berkualitas adalah pribadi yang memiliki prinsip, sehingga tidak mudah terpengaruh dan terbawa arus, termasuk arus yang kurang positif. Pribadi Komparatif, Menjadi pribadi yang komparatif adalah menjadi pribadi yang melihat sesuatu tidak hanya dari satu sisi saja, melainkan membandingkan dengan sisi-sisi lainya. Dalam hal media massa, seorang yang komparatif adalah pribadi yang tidak hanya terhanyut oleh opini publik dari satu media massa saja, melainkan media-media lainya. Selektif, sikap yang terakhir ini akan membawa seseorang pada opsi yang membangun, dengan kecermatan yang dimiliki, sehingga tidak mudah terpengaruh dan menjadi pribadi yang komparatif, maka pada akhirnya seseorang akan memilih mana yang terbaik dan dapat dipercaya. Sehingga sikap selektif terhadap informasi-informasi yang ada baik dari segi keakuratan dan validitas informasi akan menjadikan seseorang menjadi pribadi yang mampu mengkritisi media massa.(SfW)
Hak Memilih atau Kewajiban Memilih?

Hak Memilih atau Kewajiban Memilih?

Golongan putih atau yang lebih akrab kita kenal dengan golput seringkali menjadi perbincangan hangat apalagi mengingat tahun ini adalah tahun pemilu bagi Negara kita. Tanpa kita sadari golput lama-kelamaan justru menjadi layaknya sebuah tradisi yang menjadi trend dari generasi ke generasi. Seyogyanya, mempergunakan hak pilih sesuai dengan ketentuan yang berlaku sangat dianjurkan untuk meminimalisir adanya golput yang dinilai cukup merugikan. Namun sayangnya hak pilih yang ada sering disalah gunakan, hak pilih yang ada memang digunakan, namun hak yang ada digunakan untuk tidak memilih. Faktanya hal seperti itu bukanlah sesuatu yang baru, karena sistem demokrasi yang ada di Indonesia pun melindungi itu. Sering sekali muncul pernyataan bahwa golput sesungguhnya dibenarkan, karena yang ada adalah hak pilih bukan kewajiban memilih, hak tentu saja sifatnya lebih bebas dan tidak terikat, berbeda dengan kewajiban yang sifatnya harus dan terikat oleh peraturan.
Namun, walaupun hak pilih sifatnya bebas atau tidak terikat, jika ini dilakukan dalam jumlah yang sangat besar tentunya akan sangat merugikan. Bayangkan saja jika Negara kita sedang melakukan hajatan, namun hanya sedikit yang berpartisipasi tentunya hal ini akan mengakibatkan hajatan yang dilakukan tidak berjalan dengan lancar. Jika dalam pemilu kali ini banyak rakyat yang golput, hal ini tentu akan mengakibatkan kemrosotan bangsa Indonesia itu sendiri. Mengingat bahwa satu suara akan sangat menentukan maka disinilah yang menjadi titik pemikiran kita. Jika satu suara sama dengan satu jiwa perubahan, maka jika banyak yang tidak memberikan suara maka jiwa-jiwa revolusioner untuk Negara kita akan berkurang sehingga tidak akan terjadi perubahan yang signifikan. Walaupun Indonesia sebagai Negara demokrasi tidak memaksakan hal ini, tetapi perilaku seperti ini bagi Negara demokrasi bukanlah pilihan yang baik.
Jika hal ini dilanjutkan, maka hal ini sangat memungkinkan untuk mempertahankan para anggota legislatif atau mereka yang duduk di pemerintahan namun dinilai tidak professional, tidak aspiratif dan koruptif . Dan hal ini tentunya akan sangat merugikan bagi kelangsungan pembangunan Negara kita. Faktanya yang menggunakan hak memilihnya untuk tidak memilih adalah justru mereka yang berstrata menengah ke atas, justru mereka yang berpendidikan dan intelektualitasnya tinggi, hal ini terjadi mungkin Karena kaum-kaum intelektualitas justru lebih mudah memahami apa yang terjadi sesungguhnya dalam dunia politik, khususnya masalah korupsi atau tindakan merugikan rakyat lainnya yang dilakukan oleh para pejabat Negara. Hal ini memang sungguh ironis, karena masalah demokrasi justru menjadi berbanding terbalik dengan tingkat intelektualitas.
Melihat fakta dan ketentuan yang ada, golput memang dinilai bukanlah sebuah pilihan yang tepat, namun jika kita kembali pada definisi “hak” yang mana sifatnya bebas dan tidak dapat dipaksakan, hal ini tidak bisa diusut terlalu jauh. Namun jika “hak” disini diubah menjadi sebuah “kewajiban” untuk memilih layaknya yang sudah diterapkan di Australia dan Singapura, tentu ceritanya akan berbeda. Namun, siapkah kita untuk itu ?
Sekolah Gratis Atau SPP Gratis?

Sekolah Gratis Atau SPP Gratis?

“Sekolah gratis ada di mana-mana” itulah jargon yang sering kita dengar lewat iklan yang dibawakan oleh Cut Mini sebagai pemeran utama yang membawa nuansa film “Laskar Pelangi” nya. Iklan ini tentu menjadi berita yang begitu menggiurkan dan menggembirakan bagi pihak-pihak yang merasa terbebani oleh biaya pendidikan yang mahal di Indonesia selama ini. Mengingat di pendidikan di Indonesia dinilai mulai terbengkalai karena banyak sekali anak yang putus sekolah lantaran biaya sekolah yang mahal, maka pemerintah mencanagkan program ”sekolah gratis” yang baru-baru ini menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia. Mereka kaum awam, khususnya yang berada di strata menengah ke bawah, menganggap program ini benar-benar membebasakan biaya sekolah secara 100%, padahal jika ditelusuri dan dianalisa lebih dalam, program ini hanya membebaskan biaya kebutuhan minimal. Tentu secara kasar bisa dikatakan bahwa iklan yang ada hanya lah sebuah pembodohan persepsi masyarakat secara halus dan perlahan.
Walaupun niatnya baik dan positif, namun program ini justru menimbulkan efek-efek negatif yang dinilai merugikan. Dampak negatif yang terjadi antara lain pelaksanaan program ini justru memecah persepsi masyarakat dan menjadikan mereka menjadi terlena dengan kebijakan ini. Banyak kalangan masyarakat yang menganggap sekolah gratis ini benar-benar gratis secara 100%, padahal pada kenyataanya masih banyak syarat dan ketentuan yang berlaku di belakangnya yang pada akhirnya mengakibatkan sekolah gratis ini tidak gratis 100%. Lalu dengan adanya pembiayaan yang seadanya tanpa boleh ditunjang lagi dari pungutan biaya kepada orang tua, fasilitas dan kualitas yang diberikanpun bisa jadi seadanya . Hal ini juga mengakibatkan murid-murid yang bersekolah di sekolah gratis menjadi menyepelekan pembelajaran sebagai contoh murid-murid membolos pada jam pembelajaran, kadang muncul pemikiran bahwa tak ada ruginya jika gagal toh sekolah pun tidak membayar, namun pemikiran dan kenyataan seperti ini yang akan membodohkan dan memperburuk citra pendidikan generasi penerus bangsa. Selain itu, karena dana yang diberikan adalah dana minimal kebutuhan, maka kesejahteraan sekolah bila dilihat dari sisi pembiayaan aspek lain pun akan mengalami kemrosotan, tak hanya itu kesejahteraan guru yang notabene hanya dibayar dari dana kebutuhan minimal, tentu akan mengalami kemunduran dari segi kesejahteraannya.
Dari fakta yang sudah ada, bisa jelas dikatakan bahwa program sekolah gratis ini belum mencapai keefektifan dan tepat guna bagi masyarakat secara maksimal. Jika disoroti dari sisi publikasi atau penyampaiannya kepada khalayak, iklan yang disampaikan haruslah jelas dan sesuai dengan realita. Pemberian unsur endorser yang ada yaitu Cut Mini yang membawakan nuansa laskar pelangi nya memang sudah sesuai, pemberian unsur persuasifnya pun sudah sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, namun penyampaian ini hendaknya jelas, sesuai dengan kenyataan, dan tidak ambigu. Maksudnya, Jika di iklan tersebut dikatakan ”sekolah gratis” maka seharusnya pun benar-benar gratis 100%, agar masyarakat yang melihat dan mendengarnya pun tidak merasa dibohongi. Jika realitanya seperti saat ini, di mana pembiayaan sekolah gratis hanyalah dibatasi pada pembiayaan kebutuhan minimal, maka iklan yang ada seharusnya bukanlah ”sekolah gratis” saja, melainkan diberi embel-embel ”syarat dan ketentuan berlaku”. Hal ini mungkin akan lebih mengantarkan masyarakat pada program dan realita yang sebenarnya. Selain itu, diperlukan adanya saling keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya bagi mereka yang bersinggungan langsung dengan dunia pendidikan dan program sekolah gratis. Sehingga harapan pemerintah lewat program yang telah dicanangkan ini bermanfat dan tepat guna, begitu pula sebaliknya, masyarakat bisa merasakan manfaat dan efek positif dari program ”sekolah gratis” ini.


"The pen is mightier than the sword"

"The pen is mightier than the sword"

"The pen is mightier than the sword" kata-kata itu bukan cuman basa-basi, bukan cuman bualan semata..yang ada..kata-kata itu yang udah buat aku jadi tertarik menelusuri tajamnya sebuah tulisan...bagaimana bisa muncul kata2, kalo sebuah pena lebih tajam dari sebilah pedang?? sungguh diluar batas pemikiran tentunya, jika kita melihatnya dari sisi fisik...
pembuktianya hanya bisa lewat "mencoba"..
cobalah menulis..
walau banyak yang bilang bodoh dan kurang kerjaan..
tapi bodohlah untuk menulis dan menulislah untuk "sesuatu"
sesuatu yang orang lain tak akan pernah tau..tanpa mereka mencoba^^
[stipudforwriting] will accompany you^^

Kategori

Kategori